Dengan meningkatnya harga tanah dan biaya konstruksi bangunan di dalam negeri, banyak orang Indonesia mencari cara yang lebih terjangkau untuk merancang dan membangun rumah sesuai keinginan mereka. Bagi sebagian orang, pertimbangan ini mengarah pada rumah prefab yang merupakan rumah yang dibuat dari komponen prefabrikasi.

Mudah dipindah-pindah, modis dan ramah lingkungan. Tiga hal itu erat dengan definisi rumah prefab atau rumah prefabrikasi, rumah yang konstruksinya dibangun secara cepat dengan modul yang merupakan hasil dari industri pabrik. Tak heran bila kini rumah prefab menjadi alternatif bagi orang muda Indonesia yang ingin memiliki rumah pertama mereka.

Paling tidak itu diakui Albert Arron Pramono, salah satu pendiri PT Accossa yang banyak mengembangkan rumah prefab. Ia mengatakan, pada masa pandemi, permintaan akan rumah prefab mengalami peningkatan.

“Pemakaian rumah prefab di Indonesia bisa dikatakan tidak terlalu banyak. But the interest is big. Kita sudah mulai banyak dapat inquiry tahun ini, especially because of COVID. Banyak orang, misalnya, ingin pindah ke Bali, dan pengen segala sesuatu yang cepat. Pindahnya bulan depan, rumahnya harus jadi bulan depan,” jelasnya.

Pembangunan rumah prefab memang jauh lebih cepat dibanding pembangunan rumah tradisional. Pasalnya, komponen bangunan rumah prefab seperti jendela, pintu, dinding, sudah diproduksi terlebih dahulu sehingga yang diperlukan pembelinya hanyalah merakitnya.

Rumah prefab yang biasa juga disebut rumah modular, awalnya populer di kalangan perusahaan-perusahaan besar yang membutuhkan bangunan cepat tersedia untuk proyek-proyek lapangan, seperti perusahaan minyak dan gas. Namun, kini, karena meningkatnya harga tanah dan biaya konstruksi bangunan, banyak orang mulai melihatnya sebagai pilihan rumah alternatif.

Ten percents of clients kita saat ini adalah untuk residential. Perusahaan-perusahaan besar request kita untuk bangun resort villa untuk tempat tinggal manajer-manajer mereka,” lanjutnya.

Martius Wijayanto, salah satu penggagas rumah prefab di perusahaan konstruksi PT Bangun Nusa Persada, membenarkan bahwa rumah prefab semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia. Menurutnya, ada beberapa alasan yang melatarbelakanginya.

“Kesatu, mungkin dari sisi quality. Kedua dari waktu. Waktu yang di-reduced cukup besar. Ketiga, cost dari waktu yang kita bisa efisienkan. Juga desain, kita bisa lakukan dalam satu wadah atau payung. Kemudian, limbah yang cukup sedikit sehingga kita bisa katakan rumah prefab adalah bangunan yang green. Dan berikutnya dari sisi safety. Dan yan terakhir, bangunan prefab bisa meng-absorb gempa,” kata Martius.

Berdiri sejak 2004, PT Bangun Nusa Persada selama ini sebetulnya lebih terfokus pada rumah prefab untuk kebutuhan industri. Namun, sejak tahun 2018, perusahaan itu mulai melirik masyarakat umum karena melihat adanya permintaan yang meningkat.

Albert membenarkan bahwa rumah prefab lebih ramah lingkungan. Selain tidak menyisakan banyak sampah dalam proses pembangunannya, rumah seperti itu bisa dengan mudah berintegrasi dengan teknologi ramah lingkungan, dan mengadopsi prinsip-prinsip konstruksi ramah energi.

“Yang terakhir yang tidak kalah penting adalah bangunan prefab tidak memerlukan fondasi yang sangat dalam. Seandainya mau dipindah, carbon footprint-nya akan hilang,” jelas Albert.

Menurut Albert dan Martius, rumah prefab di Indonesia sebetulnya lebih populer di kalangan pebisnis kuliner. Banyak kafe atau restoran kini dibangun dari rumah prefab. Beberapa bangunan “Janji Jiwa”, kedai kopi dengan jaringan nasional milik pengusaha Billy Kurniawan, termasuk yang memanfaatkan produk Accossa. Namun, tak sedikit yang memilihnya untuk digunakan sebagai tempat tinggal.

Bagi Susanti Arman, pemilik rumah prefab di kawasan Bekasi, keputusannya untuk memiliki rumah seperti itu bukan karena kecepatan pembangunannya, namun lebih karena keawetannya. Ia, suami dan seorang anaknya yang masih kecil, sudah lebih dari setahun tinggal di rumah mungil berlantai dua itu.

“Kalau dari sisi harga cukup terjangkau. Alhamdullilah. Saya sih lebih mengutamakan kekokohan dan keawetan bangunan rumah kami. Buat apa dibangun cepat, kalau akhirnya gampang ambruk. Saya percaya rumah prefab lebih kokoh,” jelasnya.

Susanti mengaku, rumah prefab miliknya di halaman seluas 70 meter persegi dibangun dengan biaya total sekitar Rp 350 juta. Awalnya hanya satu lantai, tapi kemudian dibuat bertingkat.

Meski demikian, keliru bila menganggap rumah prefab lebih murah. Menurut Albert, untuk ongkos pembangunan termasuk bahan, sebuah rumah tradisional seluas 40 meter persegi, contohnya, membutuhkan dana Rp 140 juta hingga Rp160 juta rupiah, sementara rumah prefab untuk ukuran serupa dipatok dengan harga Rp200 juta.

Albert sendiri menilai perbedaan itu tidak signifikan, namun rumah prefab pada umumnya lebih unggul dalam hal durability, dan bahkan kualitas.

Konsumen bisa memilih sendiri kompoen rumah prefab, seperti kayu, beton atau logam atau panel komposit yang terbuat dari aluminium. Harganya bervariasi, tergantung bahan dan lokasi. Misalnya, rumah prefab 40 meter persegi yang terbuat dari bata ringan bisa berharga Rp 90 juta Sedangkan rumah prefab seluas 37 meter persegi yang terbuat dari kayu bisa menelan biaya hingga Rp 400 juta.

Di Amerika Serikat, rumah prefab sudah banyak dikenal, dan belakangan ini semakin menjadi pilihan karena bisa menjadi solusi bagi kekurangan rumah dengan harga terjangkau.

Menurut Koalisi Perumahan Nasional untuk Keluarga Berpenghasilan Rendah, pada 2021, ada kekurangan sekitar tujuh juta rumah terjangkau untuk lebih dari 11 juta keluarga berpenghasilan sangat rendah di AS.

Rumah prefab yang diyakini dapat mengurangi biaya konstruksi sebesar 20 hingga 40 persen kini menjadi pilihan. Bay Area di San Francisco, jantungnya industri teknologi AS, tercatat sebagai kawasan yang paling membutuhkan rumah seperti itu.

Beberapa produsen rumah Entekra, Blu Homes, Connect Homes dan Blokable kini bersaing merebut pasar itu. Google dan Facebook dilaporkan juga berinvestasi di industri rumah prefab di Bay Area lewat perusahaan Factory OS.