Restoran cepat saji ternama McDonald’s Indonesia menghentikan untuk sementara waktu penjualan kentang goreng atau french fries ukuran besar akibat keterbatasan stok bahan baku kentang impor. Mengapa Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan kentang untuk industri pengolahan makanan ini?
Jika Anda datang ke gerai restoran cepat saji McDonalds untuk bersantap, jangan heran jika kini tidak ada lagi kentang goreng atau french fries dalam ukuran besar. McDonald’s Indonesia mulai 2 Februari lalu secara mengejutkan menghentikan sementara penjualan kentang goreng dalam ukuran besar, namun tetap menjual ukuran medium atau small. Langkah serupa diambil restoran cepat saji di beberapa negara lain.
Associate Director of Communications McDonald’s Indonesia Sutji Lantyka dalam rilisnya menyebut keterbatasan ini karena kendala pengiriman pasokan kentang akibat pandemi COVID-19. Sutji yakin permasalahan ini tidak akan berlangsung lama.
“Namun, kami pastikan bahwa McDonald’s akan terus melakukan langkah-langkah proaktif untuk dapat memenuhi permintaan dari konsumen. Kami juga memanfaatkan kekuatan rantai pasokan global McDonald’s – yang melayani lebih dari 39.000 restoran di lebih dari 100 negara di seluruh dunia – untuk mengatasi masalah ini secepat mungkin,” papar Sutji.
Ketergantungan Impor?
Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Ananta mengungkapkan fenomena kelangkaan kentang impor untuk industri makanan olahan seharusnya tidak berlangsung lama.
“Kelangkaan kentang saat ini terjadi karena disrupsi rantai pasok global. Namun disrupsi ini hanya temporer. Secara jangka panjang, Indonesia tetap membutuhkan impor kentang dari luar negeri untuk memenuhi konsumsi,” ungkap Felippa.
Meskipun Indonesia berpotensi besar menghasilkan jenis kentang untuk industri makanan olahan, berbagai kelompok petani juga diminta untuk menanam jenis sayuran lain sehingga tidak dapat memenuhi semua kebutuhan komoditas dari dalam negeri semata.
“Maka dari itu, perdagangan pangan antar negara itu normal. Normal juga jika petani akan berpindah fokus kepada komoditas yang paling menguntungkan, jadi tidak perlu memaksa petani untuk menanam kentang. Kalau dibandingkan, lahan pertanian kentang di Amerika yang menjadi sumber impor terbesar Indonesia itu sudah jauh lebih masif dan efisien, sehingga harganya juga jauh lebih murah dibanding Indonesia,” katanya.
Ke depan, pemerintah menurutnya perlu mencari solusi untuk berbagai tantangan yang tengah dihadapi oleh sektor pertanian saat ini.
“Seperti keterbatasan lahan dan krisis iklim. Tantangan-tangan ini turut berkontribusi pada penurunan produksi dan produktivitas. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian domestik perlu terus dilakukan sembari memanfaatkan perdagangan internasional,” jelasnya.
Lebih jauh Felippa menjelaskan kelangkaan kentang impor ini tidak akan terlalu terasa di tanah air, karena kentang impor sendiri bukan bahan makanan pokok. Pasokan kentang sayur yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat masih dapat dipenuhi dari produksi di dalam negeri.
Tutupi Kebutuhan Kentang, Indonesia Impor
Indonesia hanya dapat memenuhi sekitar 25% kebutuhan kentang pada industri makanan olahan. Kekurangannya ditutupi dari impor kentang olahan, terutama varietas Atlantic dari Eropa dan Amerika yang mutunya jauh lebih baik. Sebagian lainnya menggunakan kentang dari surplus kentang sayur dengan mutu olahan yang lebih rendah.
Data di Balai Penelitian Tanaman Sayuran (BALISTA) tahun 2020 menunjukkan Indonesia mengimpor 25.410 ton kentang dari Belgia, 20.850 ton dari Amerika dan 19.100 ton dari Belanda. Total nilai impor kentang ini mencapai 69,79 juta dolar Amerika.
Felippa mengatakan kelangkaan stok kentang olahan ini sebenarnya tidak saja dialami Indonesia. Penurunan kapasitas pertanian dan industri pengolahan di Amerika karena perebakan luas pandemi virus corona dan faktor cuaca yang menyebabkan gangguan di pelabuhan transit membuat beberapa negara juga mengalami masalah serupa.
Produksi kentang Indonesia bergerak fluktuatif dalam beberapa tahun terakhir ini. Namun volumenya selalu bisa melebihi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Sekitar 80 persen produksi kentang di tanah air merupakan jenis kentang sayur untuk melayani kebutuhan rumah tangga. Sedangkan sisanya, merupakan kentang olahan untuk industri makanan.
Statistik tanaman sayuran dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi kentang Indonesia dalam rentang waktu 2016 hingga 2020 berfluktuasi dari 1.213.041 ton (2016), menjadi 1.164.738 ton (2017), 1.284.762 ton (2018), 1.314.657 ton (2019) dan 1.282.762 ton (2020).
Tingkat konsumsi kentang oleh rumah tangga pada kurun waktu yang sama berada pada 647.500 ton (2016), 587.200 ton (2017), 608.200 ton (2018), 726.870 ton (2019) dan 690.370 ton (2020).
Sementara itu, volume maupun nilai impor kentang olahan maupun segar dalam periode 2016-2020 juga naik turun. Adapun volume impornya berkisar antara 106.220 ton hingga 140.087 ton dengan nilai USD85,2 juta-USD124,9 juta. Pada 2020 lalu, Indonesia mengimpor 133.564 ton kentang senilai USD114,6 juta.
Indonesia Berpotensi Penuhi Kelangkaan Kentang Impor
Fenomena kelangkaan kentang impor akibat terganggunya rantai pasok global sebenarnya bisa membuka peluang bagi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tersebut.
Ketua Departemen Penguatan Organisasi Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia Ali Fahmi mengatakan Indonesia memiliki potensi yang cukup besar karena jumlah petani yang banyak dan lahan yang luas. Namun, sampai detik ini, ujarnya, ada berbagai hambatan yang membuat para petani enggan menanam jenis kentang untuk industri olahan makanan.
Alasan pertama, katanya, karena bibit kentang ini juga masih impor sehingga petani khawatir akan kesulitan untuk mendapatkan bibit tersebut. Meskipun sebelumnya ada mekanisme kerja sama bussiness to business antara sebuah perusahaan dengan kelompok petani untuk menanam jenis kentang tersebut di tanah air, faktanya kerjasama tersebut dinilai tidak menguntungkan bagi para petani.
“Khusus untuk kentang french fries itu, memang rumit. Jadi petani ogah-ogahan karena ini menyangkut ya kalau petani menanam itu harus mendapatkan untung, tapi ketika dalam perjalanannya tidak menghasilkan keuntungan yang lebih, saya pikir juga petani juga tidak mau,” ungkapnya kepada VOA.
Langkah pemerintah yang pada akhir tahun 2021 lalu meluncurkan tiga varietas unggul dan bermutu kentang industri yakni varietas Medians, Ventury Agrihorti, dan Golden Agrihorti juga tidak menarik minat petani untuk mengembangkannya meskipun pemerintah sudah memberikan berbagai macam pelatihan.
“Ketakutan petani lainnya nanti ketika panen, harga murah terus rugi siapa yang nanggung. Petani menolak karena pengalaman yang terjadi selama ini begitu, gak sesuai dengan biaya produksi, sehingga petani pengen yang lebih aman saja,” tuturnya.
Ke depan, katanya pemerintah harus bisa meningkatkan kemampuan petani untuk melakukan penangkaran bibit lokal baik itu untuk jenis kentang industri, dan kentang jenis sayur. Dengan begitu, ketergantungan pada bibit impor bisa berkurang dengan signifikan.
“Potensi itu kita ada. Baik potensi dari jumlah petani kita, maupun potensi daerah atau sentra produksi kentang dimana ada 12 provinsi yang selama ini menyuplai kentang. Jadi memang penangkaran itu harus di dorong agar petani memilki kemampuan untuk ke sana, sehingga kekhawatiran petani ketika ingin menanam kentang sendiri itu tidak lagi bergantung pada benih, apalagi benihnya benih impor, pasti pikirannya mahal. Tentu dengan jaminan pasar dan harga oleh pemerintah,”pungkasnya.