Algoritma di media sosial Twitter belakangan menjadi perbincangan hangat oleh mantan CEO Twitter, Jack Dorsey dengan calon bos Twitter, Elon Musk. Keduanya memperdebatkan mekanisme algoritma di platform microblogging itu.
Cerita bermula saat Jack Dorsey mengomentari keinginan Musk mengubah algoritma yang digunakan Twitter, yang semula pakai ‘Home’ yang diurutkan secara algoritmik menjadi ‘terbaru’.
Dorsey membalas cuitan itu dengan pemahamannya. Dia menilai algoritma bagus agar pengguna tidak melewatkan hal yang terlewatkan, dan tidak mengalir begitu saja.
Di samping itu Musk menjelaskan jika algoritma bersifat “menebak” apa yang mungkin akan dibaca pengguna, dan secara tidak sengaja memanipulasi atau memperkuat sudut pandang tanpa disadari pengguna.
Lalu apa sebenarnya algoritma yang biasanya banyak dipakai developer media sosial kepada para pengguna?
Algoritma tampak membantu sebagian besar pengguna untuk menyaring konten dan hanya menyuguhkan konten relevan yang disukai pengguna, daripada postingan konten acak.
Singkatnya, algoritma di media sosial adalah cara menyortir postingan di umpan pengguna, berdasarkan relevansi alih-alih waktu dan publikasi.
Di dalam teknis algoritma, terdapat machine learning yang mempelajari kesukaan pengguna dalam hal konten. Dengan demikian, tidak membutuhkan manusia untuk memperhatikan kesukaan setiap pengguna media sosial yang jumlahnya terbilang banyak.
Jejaring sosial memprioritaskan konten mana yang dilihat pengguna di umpan mereka terlebih dahulu, dengan harapan pengguna benar-benar ingin melihatnya.
Setelah pengguna menunjukkan minat pada ‘tag’ atau kategori tertentu, mereka akan diarahkan ke item lain dalam kategori yang sama.
Secara default, algoritma media sosial mengambil kendali untuk menentukan konten mana yang akan disajikan berdasarkan perilaku pengguna, menurut laporan Internet Just Society.
Sebagai contoh di Facebook atau Twitter, menempatkan postingan teman terdekat dan keluarga di depan dan di tengah umpan beranda, karena dianggap sebagai akun yang paling sering berinteraksi.
Tidak hanya di Facebook dan Twitter, YouTube juga melakukan hal yang sama dengan algoritma. Melihat mana jenis konten yang paling banyak disukai pengguna per akun.
Elemen seperti kategori, #tag, dan kata kunci (keyword) juga menjadi faktor dalam konten yang direkomendasikan di jaringan media sosial mana pun.
Meski demikian algoritma media sosial dianggap begitu kontroversial karena memberikan dampak terhadap jangkauan konsumsi konten pengguna.
Kini, mekanisme algoritma di media sosial juga masih dianggap belum sepenuhnya sempurna. Ada beberapa contoh algoritma yang tampaknya ‘menyembunyikan’ konten di media sosial secara acak.
Dengan begitu, sebuah konten yang tidak relevan bagi pengguna bisa melesat jadi jutaan penayangan karena disuguhkan lewat mekanisme algoritma itu dilansir Sprout Social.
Penggunaan algoritma juga mendatangkan pundi-pundi cuan untuk pemilik media sosial. Ini berlaku ketika sebuah produk yang dipasarkan di platform, tak berhasil menjangkau algoritma kesukaan audiens.
Dengan begitu, pemasar produk harus membayar sejumlah uang untuk mendorong konten agar bisa dikonsumsi audiens. Sebagian pemasar juga mengetahui media sosial memprioritaskan konten berbayar agar konten tepat kepada segmen yang dituju.
Sumber : CNN [dot] COM