Kualitas udara Jakarta konsisten di jajaran atas terburuk sedunia, terutama setelah pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) era pandemi Covid-19. Sejumlah penyebabnya disebut tak cuma berasal dari dalam kota.

Berdasarkan situs IQAir, Indeks kualitas udara (Air Quality Index/ AQI), udara DKI Jakarta kembali menjadi yang terburuk di dunia dengan skor 163 alias tidak sehat, per Rabu (22/6). Di bawahnya, ada Beijing (159) dan Dhaka (157).

“Konsentrasi PM 2.5 di udara Jakarta saat ini 15.8 kali di atas nilai panduan kualitas udara tahunan WHO,” demikian dikutip dari situs tersebut.

Pengukuran kualitas udara situs ini dilakukan dengan mengacu pada angka PM 2.5, yang merupakan polutan berbentuk debu, jelaga, asap berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron.

Partikel udara ini terbentuk di atmosfer karena reaksi kimia, misalnya, sulfur dioksida dan nitrogen oksida, yang berasal dari pembuangan gas kendaraan bermotor dan industri.

Sehari sebelumnya, Jakarta berada di peringkat kedua. Pekan lalu, Jakarta juga sempat menduduki juara kota dengan udara terburuk sedunia.

Sejumlah pihak sudah berupaya memperbaiki masalah ini sejak lama. Terlebih polusi udara diklaim bukan cuma datang dari tengah kota. Berikut fakta-faktanya:

1. Terkait Hujan

Koordinator Bidang Informasi Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Budi Setiawan mengatakan udara buruk DKI ini dipengaruhi oleh tingginya kelembapan udara yang ditandai dengan hujan pada malam hingga dini hari selama beberapa hari terakhir.

“Kelembaban udara yang tinggi di malam hingga dini hari dapat menyebabkan suhu udara di lapisan udara dekat permukaan bumi menjadi lebih dingin dibandingkan dengan lapisan udara di atasnya,” ujar dia, Rabu (15/6).

Alhasil, udara mendingin dan lebih berat. Ketika udara permukaan tidak dapat naik ke lapisan di atasnya, PM 2.5 menjadi terakumulasi di dekat lapisan permukaan dan terukur memiliki konsentrasi meningkat. Kondisi ini akan memicu penumpukan polutan di awan pada pagi hari.

2. Kepungan PLTU

Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Jeany Sirait menyebut ada 21 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Banten yang memengaruhi kualitas udara di Jakarta.

Pemerintah, kata dia, seharusnya membuat kebijakan pengendalian lingkungan yang lebih ketat. Salah satunya dengan tidak menambah PLTU, khususnya di Jabodetabek.

Berdasarkan pemetaan yang dilakukan Walhi bersama Greenpeace pada 2017, 10 PLTU berbahan bakar batu bara tercatat menyumbang polusi di Jakarta.

Mereka adalah PLTU Lestari Banten Energi berkapasitas 670 MW, PLTU Suralaya unit 1-7 berkapasitas 3400 MW, PLTU Suralaya unit 8 berkapasitas 625 MW, PLTU Labuan unit 1-2 berkapasitas 600 MW, dan PLTU Merak Power Station unit 1-2 berkapasitas 120 MW.

Kemudian PLTU Lontar unit 1-3 berkapasitas 945 MW, PLTU Lontar Exp berkapasitas 315 MW, PLTU Babelan unit 1-2 berkapasitas 280 MW, PLTU Pindo Deli dan Paper Mill II berkapasitas 50 MW, serta PLTU Pelabuhan Ratu unit 1-3 berkapasitas 1050 MW.

“Transportasi itu [menyumbang emisi] sekitar 30 sampai 40 (persen); pembangkit itu sekitar 20 sampai 30 persen, sisanya dari bakar sampah dan lain-lain, ada juga dari sumber lain,” kata Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Walhi Dwi Sawung, di Jakarta, Selasa (16/7/2019).

3. Faktor angin

Pelaksana tugas (Plt) Deputi Bidang Klimatologi BMKG Urip Haryoko mengungkapkan penurunan kualitas udara di Jakarta dipicu oleh kombinasi antara sumber emisi dan pola angin.

“Pola angin lapisan permukaan memperlihatkan pergerakan massa udara dari arah timur dan timur laut yang menuju Jakarta, dan memberikan dampak terhadap akumulasi konsentrasi PM2.5 di wilayah ini,” jelasnya, kemarin.

Di samping itu, kata dia, ada stagnasi pergerakan udara yang menyebabkan polutan yang terakumulasi di ibu kota tidak beranjak.

4. Beda standar

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar membantah kualitas udara di DKI Jakarta menjadi yang terburuk di seluruh dunia sambil menyebut data di situs IQAir berbeda dengan yang dipakai oleh pemerintah selama ini.

“Pada saat yang sama, DKI bukan yang sekian itu, nomor 44,” kata Siti di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (20/6).

Dia yang merupakan politikus Partai NasDem ini meminta publik memperhatikan metode yang dipakai dalam menentukan kualitas udara sebuah kota.

Dikutip dari situs KLHK, pengukuran kualitas udara menggunakan perhitungan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) hasil pantauan puluhan stasiun yang tersebar di berbagai provinsi. Angkanya bisa diakses lewat website dan app.

Parameter yang digunakan adalah Partikulat (PM 10 dan PM 2.5), Karbon Monoksida (CO), Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen Dioksida (NO2), Ozon (O3), dan Hidrokarbon (HC).

Metode perhitungan ISPU mengacu pada Peraturan Menteri LHK No.14 Tahun 2020 tentang Indeks Standar Pencemar Udara. ISPU dihitung dari data hasil pemantauan kualitas udara ambien dengan stasiun pemantau yang beroperasi secara otomatis dan kontinu (AQMS).

Berdasarkan pantauan situs ISPU KLHK per Rabu (22/6) pukul 12.06 WIB, empat stasiun pemantauan udara DKI menunjukkan kualitas udara sedang (warna biru), dengan angka 91 di Stasiun Kebon Jeruk, Jakbar; 88 di stasiun GBK, Jakpus; 83 di Stasiun Bundaran HI, Jakpus; dan 91 di Stasiun Kelapa Gading, Jaktim.

Cuma satu stasiun yang menunjukkan kualitas udara tidak sehat, yakni Stasiun Lubang Buaya, Jaktim, dengan angka 116.

5. Pemerintah diputus bersalah

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus Presiden Joko Widodo (tergugat I) hingga Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (tergugat V) melakukan perbuatan melawan hukum terkait pencemaran udara di wilayah DKI Jakarta, September 2021.

Hal itu berdasarkan gugatan 32 warga lewat jalur citizen law suit dengan diadvokasi oleh Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Koalisi Ibukota).

Saat itu, Hakim menilai para tergugat telah lalai dalam pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat di wilayah DKI Jakarta.

Majelis hakim menghukum Presiden untuk menetapkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan dan ekosistem, termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Hakim juga menghukum Anies untuk melakukan pengawasan terhadap ketaatan setiap orang mengenai ketentuan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran udara dan atau ketentuan dokumen lingkungan hidup.

Selain itu, Anies diminta menjatuhkan sanksi terhadap setiap orang yang melakukan pelanggaran ketentuan-ketentuan itu, serta menetapkan baku mutu ambien daerah yang cukup untuk melindungi kesehatan dan lingkungan “berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”.

Namun demikian, kasus ini masih berjalan karena pihak pemerintah mengajukan banding.