Tim ilmuwan dari Cincinnati, Ohio, mengembangkan simulator yang bisa mengajarkan remaja dengan gangguan kesehatan jiwa ADHD (attention-deficit/hyperactivity disorder) mengemudi dengan baik.
ADHD biasanya pertama kali terdiagnosis pada masa kanak-kanak dan sering berlangsung hingga dewasa. Mereka dengan ADHD kemungkinan mengalami kesulitan dalam memfokuskan perhatian, mengendalikan perilaku impulsif, atau berperilaku terlalu aktif.
Memberi penderita ADHD kesempatan berada di balik kemudi kendaraan, tentunya mengundang risiko besar. Namun hal itu kini kemungkinan bukan persoalan lagi. Jeffrey Epstein, Direktur Pusat Studi ADHD, Cincinnati Children’s Hospital, bersama timnya berhasil mengembangkan simulator yang bisa mengurangi secara signifikan risiko itu.
“Remaja dengan ADHD adalah pengemudi dengan risiko tertinggi di jalan raya saat ini. Sejauh ini, kota tidak memiliki intervensi yang terbukti dapat mengurangi risiko mengemudi mereka. Ini adalah intervensi pertama yang kami lakukan yang benar-benar mengurangi risiko mengemudi,” jelasnya.
Hasil studi tim Cincinnati ini dipublikasikan di The New England Journal of Medicine, 30 November lalu. Simulator yang dikembangkan Epstein dan timnya pada intinya mengajarkan remaja yang sedang belajar mengemudi untuk memfokuskan perhatian pada jalan, menurunkan frekuensi mengalihkan perhatian, dan mengurangi variasi berpindah jalur. Mereka, misalnya, diberi peringatan dan penjelasan, saat mata mereka mengalihkan perhatian dari jalan di mana kendaraan mereka sedang melaju.
Hasilnya? Selama setahun setelah pelatihan, tabrakan dan hampir tabrakan lebih jarang terjadi di antara 76 remaja yang secara acak ditugaskan untuk menerima pelatihan dibandingkan dengan kelompok kontrol yang terdiri dari 76 remaja serupa yang tidak mendapatkan latihan dengan simulator.
Pengemudi remaja dengan ADHD dua kali lebih mungkin terlibat dalam tabrakan kendaraan bermotor dibandingkan dengan remaja pada umumnya.
Menurut studi itu, pada awalnya, remaja dengan ADHD mengalihkan perhatian sebanyak 22 kali setiap periode 15 menit. Seiring berjalannya waktu pelatihan, atau beberapa bulan kemudian, frekuensi mengalihkan perhatian mereka turun menjadi sekitar 15-16 kali per 15 menit.
Setahun kemudian, menurut perhitungan, remaja yang menerima pelatihan 24% lebih kecil kemungkinannya mengalihkan perhatian dari jalan ketimbang remaja penderita ADHD yang tidak mengikuti pelatihan.
Epstein berharap, hasil penelitiannya dimanfaatkan lebih jauh.
“Saya ingin intervensi ini menyebar. Remaja perlu mendapatkan akses ke simulator ini. Pelatihan ini akan menyelamatkan banyak nyawa,” jelasnya.`
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) memperkirakan sekitar 3,3 juta remaja AS didiagnosis menderita ADHD.