Indonesia berharap Jepang memastikan agar  proses pembuangan air limbah radioaktif dari PLTN Fukushima dilakukan secara transparan dan tidak membahayakan lingkungan.

Kepala Badan Energi Atom Internasional IAEA Rafael Mariano Grossi akan terbang ke Jepang hari Selasa (4/7) untuk mengkaji persiapan akhir pelepasan air limbah radioaktif yang sudah diolah dari PLTN Fukushima yang rusak karena gempa dan tsunami tahun 2011 lalu, ke Samudra Pasifik.

Menurut rencana Grossi terlebih dahulu akan melangsungkan pertemuan dengan beberapa pemimpin Jepang, termasuk Perdana Menteri Fumio Kishida, Menteri Luar Negeri Yoshimasa Hayashi, dan Menteri Perindustrian Yasutoshi Nishimura.

Kehadiran Grossi dinilai dapat menambah kredibilitas atas rencana Jepang melepas air limbah radioaktif yang sudah diolah, yang dikecam keras oleh negara-negara tetangganya, antara lain Korea Selatan, China, dan sebagian negara di Kepulauan Pasifik.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin secara blak-blakan mengatakan lautan bukanlah selokan pribadi Jepang, dan memperingatkan risiko besar yang ditimbulkan.

Indonesia Minta Jepang Penuhi Standar IAEA

Diwawancarai melalui telpon hari Senin (3/7), juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Teuku Faizasyah menggarisbawahi urgensi pelepasan air limbah radioaktif yang sudah diolah itu, yang sedianya dilakukan secara transparan.

“Jaminan proses yang ketat dan transparan tersebut, kita berharap dapat meyakinkan masyarakat dan negara di sekitar Jepang. Kita ingin adanya kepastian apa yang direncanakan itu betul-betul sudah memenuhi standar yang diberikan oleh IAEA (Badan Tenaga Atom Internasional),” kata Faizasyah.

Ditambahkannya, Indonesia telah secara aktif membahas isu ini di forum IAEA, yang secara intensif melakukan pemeriksaan dan kajian dari aspek kesehatan, keamanan dan lingkungan.

Greenpeace Indonesia: Jepang Sudah Kehabisan Akal

Organisasi penggiat isu lingkungan hidup, Greenpeace, menunjukkan kegeramannya dengan rencana Jepang itu. Pengkampanye energi dan iklim dari Greenpeace Indonesia Didit Haryo Wicaksono menyatakan niat Jepang membuang limbah nuklir itu sebagai rencana “gila”.

“Menunjukkan bahwa mereka sudah kehabisan akal untuk menanggulangi kebocoran yang terjadi di PLTN Fukushima tahun 2012 kalau nggak salah. Sehingga dipaksa air-air yang terkontaminasi itu untuk dibuang ke laut dan jelas ini punya dampak luar biasa besar dan berbahaya, khususnya untuk ekosistem laut,” ujar Didit.

Bahaya yang dimaksudnya tidak hanya terhadap perairan sekitar Jepang, tetapi hingga ke Asia Tenggara. Terlebih selama ini belum ada piranti canggih yang dapat mengukur sejauh mana limbah radioaktif itu mengurai atau mengendap, dan menimbulkan masalah baru.

Satu-satunya cara menghindari dampak adalah dengan memastikan tidak ada manusia atau mahkluk hidup lain di sekitar lokasi pembuangan; suatu hal yang sangat sulit dilakukan.

Didit mengatakan Jepang tidak memiliki cara lain untuk menyelesaikan masalah limbah radioaktif yang sudah diolah itu karena tempat penampungan yang ada sudah penuh, dan pembuangan ke laut merupakan cara yang paling hemat.

Persoalan limbah radioaktif dan tidak adanya mekanisme yang dapat memastikan tidak terjadinya pencemaran membuat Greenpeace sejak awal menolak PLTN sebagai sumber energi. Dampak pembuangan limbah radioaktif itu menurutnya tidak langsung, dan bersifat akumulatif, atau baru akan dirasakan generasi mendatang yang mengkonsumsi ikan yang terkontaminasi limbah itu.

Oleh karena itu Greenpeace Indonesia, tegas Didit, berharap pemerintah Indonesia dapat bersikeras menentang rencana Jepang membuang limbah radioaktif olahan itu ke Samudra Pasifik.