Murah, ramah lingkungan, dan sudah menjadi tradisi berabad-abad. Itulah alasan Jepang memanfaatkan “shimogoe”, alias “pupuk dari kotoran manusia”, setelah perang Rusia-Ukraina membuat harga pupuk kimia melambung.
Truk-truk penyedot tinja berdatangan di pabrik pengolahan pupuk Miura, sebuah kota di dekat Tokyo. Air yang ada di dalamnya kemudian dibuang, menyisakan kotoran padat yang kemudian diurai bakteri di tanki-tanki besar. Produk akhir pupuk berupa bubuk mirip tanah yang dapat ditaburkan di lahan perkebunan, sedangkan metana yang dihasilkan selama proses pengolahan pupuk itu lalu dibakar untuk memanaskan air dan memasok listrik di pabrik itu.
Kenichi Ryose, manajer pabrik di Pusat Biomassa Miura, mengatakan bahwa mereka memproduksi 500 ton pupuk kotoran manusia setiap tahunnya. “Pupuk ini seharga 100 yen per kantong, harganya sangat terjangkau. Saya dengar pupuk ini sangat bagus untuk menyuburkan sayuran berdaun. Saya ingin lebih banyak petani menggunakannya,” tambahnya.
Pemanfaatan feses manusia untuk menyuburkan tanaman pernah menjadi praktek yang lazim di Jepang, layaknya di berbagai belahan dunia lainnya. Namun, popularitas pupuk itu sempat menurun sejak ditemukannya sistem dan pabrik pengolahan limbah, serta pupuk kimia.
Sekitar satu dekade yang lalu, berbagai pabrik pengolahan limbah di Jepang tertarik untuk membangkitkan kembali upaya mengurangi pembuangan residu limbah cair, sebuah proses yang mahal dan berpotensi merusak lingkungan. Antusiasme mereka sempat memudar, sampai akhirnya Rusia menginvasi Ukraina, yang mengakibatkan harga pupuk kimia meroket.
Kondisi ini menjadi peluang emas bagi sebuah pabrik di kota Tome di utara Jepang, di mana volume penjualan shimogoe naik setiap tahunnya hingga mencapai 160 persen pada Maret 2023. Tahun ini menjadi pertama kalinya pupuk kotoran manusia produksi pabrik Tome ludes terjual sejak mereka beroperasi pada tahun 2010.
“Pupuk kami populer karena harganya murah, sehingga membantu para petani memangkas biaya [dari pupuk kimia] yang harganya melonjak,” ungkap wakil direktur pabrik Tome Toshiaki Kato kepada AFP. “Pupuk kami juga ramah lingkungan,” lanjutnya.
Terbuat dari kombinasi residu limbah cair dari tangki septik dan kotoran manusia dari tangki pembuangan bawah tanah, pupuk feses dibandrol dengan harga 160 yen (sekitar Rp17.000) per 15 kilogram. Angka tersebut hanya sekitar sepersepuluh dari harga pupuk yang terbuat dari bahan baku impor.
Para pegawai pabrik di kota Saga, barat daya Jepang, juga melaporkan bahwa penjualan pupuk feses produksi mereka naik hingga dua atau tiga kali lipat dari biasanya.
Shimogoe: Dulu dan Sekarang
Menurut spesialis pupuk Arata Kobayashi, shimogoe adalah pupuk utama yang digunakan pada zaman Edo di Jepang. Pada awal abad ke-18, satu juta penduduk Tokyo—yang dulu bernama Edo—“menghasilkan” sekitar 500.000 ton pupuk kotoran manusia per tahun.
Pengolahan pupuk kotoran manusia kala itu adalah sebuah bisnis besar yang melibatkan pengumpul, pengangkut, dan petani, “dan mereka semua mendapat manfaat dari sistem itu. Mereka menciptakan proses daur ulang kotoran manusia menjadi pupuk secara tidak sengaja. Pupuk itu adalah hasil usaha pihak-pihak yang cenderung ingin mengejar keuntungan,” kata Kobayashi.
Pemerintah Jepang kini mendorong upaya untuk meningkatkan kembali pengolahan pupuk kotoran manusia, dengan alasan bahwa pupuk itu ramah lingkungan. Selain itu, ada pula kekhawatiran soal ketahanan pangan dalam negeri Jepang sejak perang Rusia-Ukraina.
Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang berharap dapat menggandakan jumlah penggunaan pupuk kandang dan kotoran manusia hingga tahun 2030, serta menargetkan penggunaannya hingga 40 persen dari seluruh jenis pupuk yang ada di negara itu.
Namun, di Amerika Serikat, muncul kekhawatiran soal kandungan zat kimia berbahaya PFAS (zat Per- dan polifluoroalkil) dalam pupuk yang terbuat dari kotoran manusia.
Seorang perwakilan dari kementerian lingkungan di Jepang yang tidak ingin disebutkan namanya menyatakan bahwa mereka tidak menemukan kekhawatiran serupa di negaranya, tapi mengakui belum adanya pedoman mengenai level PFAS di tanah akibat penggunaan pupuk itu.
“Saat ini kami sedang mengembangkan cara yang efektif secara ilmiah untuk dapat mengukur PFAS dan juga mempelajari bagaimana mengaturnya,” ungkapnya.
Dilema Penggunaan Pupuk
Nobuyoshi Fujiwara, pemilik sebuah perkebunan kol di utara Miura, menyebut salah satu masalah dalam menggunakan pupuk kotoran manusia adalah baunya.
Ia mulai memanfaatkan shimogoe sejak tahun lalu untuk memangkas biaya produksi dan turut berperan serta dalam gerakan sosial berupa pemanfaatan daur ulang limbah.
Namun, ia mengatakan, “Kami tidak bisa menggunakannya di perkebunan dekat pemukiman warga, karena ada keluhan tentang baunya. Kami juga harus menaburkan pupuk itu sebanyak empat atau lima kali lebih banyak dari jumlah pupuk kimia.”
Ia juga menambahkan adanya masalah branding, atau penjenamaan, dalam pemasaran pupuk itu. “Aksara Mandarin yang digunakan untuk menyebut sisa limbah itu adalah ‘lumpur kotor’ – tidak terdengar bagus,” lanjutnya.
“Meskipun kami memproduksi bahan makanan yang aman, saya rasa orang-orang awam akan memperoleh kesan negatif ketika mendengar bahwa pupuk [yang kami gunakan] terbuat dari kotoran manusia.”
Namun, ia tidak ingin menyembunyikan fakta bahwa ia memang menggunakan pupuk tersebut. Ia justru ingin pupuk itu dapat lebih dipromosikan lebih luas.
“Dengan menggunakan pupuk ini, kami dapat memanfaatkan kembali limbah. Kami terlalu mengandalkan bahan impor dalam industri pertanian, dan terkadang sulit untuk mendapatkan bahan-bahan tersebut dari luar negeri. Jadi, jika kami bisa memproduksinya di dalam negeri sendiri, kami dapat bertani dengan tenang dan teratur. Saya harap pupuk ini akan menjadi lebih populer,” pungkasnya.