Apa Keuntungan UEA Membuka Hubungan Diplomatik dengan Israel?

0
777

“Bersejarah”, “Sebuah terobosan, “Pengkhianatan”: Presiden Trump tidak kekurangan julukan untuk pengumuman yang mendadak pada bulan ini bahwa Uni Emirat Arab (UEA) akan sepenuhnya menormalisasi hubungannya dengan Israel.

Setelah perjanjian damai Mesir-Israel pada 1979, diikuti dengan perjanjian damai Israel-Yordania pada 1994, kesepakatan ini menjadikan UEA sebagai negara Arab ketiga yang menormalisasi hubungan setelah Oman, Bahrain, dan kemungkinan diikuti Maroko.

Hubungan rahasia antara UEA dan Israel disebut telah berlangsung lama selama bertahun-tahun tetapi rincian dan waktu kesepakatan normalisasi ini dirahasiakan hingga menit terakhir.

Pun tidak ada konsultasi antara Kementerian Luar Negeri UEA di Abu Dhabi dan negara-negara Arab lainnya. Sehingga semua orang, terutama sebagian besar rakyat Palestina terkejut dan menyebutnya “menikam dari belakang” lantaran pendudukan Israel atas negara mereka belum berakhir.

“Untuk rakyat Palestina, tidak ada keuntungan dari kesepakatan ini,” ujar Emile Hokayem dari Institut Internasional untuk Studi Strategis yang berbasis di London.

Tapi bagi Putra Mahkota sekaligus penguasa de facto UEA, Sheikh Mohammed Bin Zayed (dikenal sebagai MBZ), kesepakatan ini semacam pertaruhan, namun dengan peluang yang sangat menguntungkannya.

Sementara risikonya adalah kesepakatan itu bisa membuat kepemimpinan UEA tidak populer di mata negara-negara Arab di mana beberapa unggahan di media sosial menyebutnya “menjual habis-habisan”.

Jika Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengingkari janjinya untuk sementara waktu dengan menangguhkan aneksasi di bagian Tepi Barat, maka itu akan sangat memalukan bagi Emirat.

Namun langkah tersebut akan menimbulkan ketidaksetujuan dari Gedung Putih dan di samping itu aksi protes di jalan-jalan biasanya tidak ditoleransi di Teluk Arab.

“Dalam jangka pendek, rintangan bagi UEA sangat sedikit,” kata Hokayem. “Kesepakatan ini tidak akan memengaruhi stabilitas rezim UEA. Akan tetapi mencerminkan perubahan geopolitik di kawasan di mana citranya telah ternoda oleh keterlibatannya dalam perang Yaman.”

Kalau begitu apa di balik kesepakatan ini dan apa keuntungannya bagi negara Teluk yang relatif muda ini dan bekas daerah perwalian Inggris yang baru menjadi negara berdaulat pada 1971?

Singkatnya, ada dua hal; keuntungan strategis dan teknologi.

Uni Emirat Arab bersama Bahrain dan Arab Saudi memiliki ketidakpercayaan mendalam, bahkan ketakutan yang besar terhadap tetangganya, Iran.

Ketika para pemimpin di Teluk Arab melihat peta kawasan dan mereka mencatat bagaimana kehadiran strategis Iran telah berkembang pesat di Timur Tengah sejak benteng rezim Saddam Hussein disingkirkan di Irak.

Dulu Iran sebagian besar terbatas pada perbatasan nasional, sekarang Iran memiliki milisi proksi di Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman. Israel pun turut mencermati hal itu, terutama dalam hal program nuklir rahasia Iran.

Kemudian ada yang dikenal sebagai “Islamisasi” atau “Politik Islam”, sebuah konsep trans-nasional yang sering disuarakan oleh Ikhwanul Muslimin dan oleh para penguasa Teluk Arab dipandang sebagai ancaman eksistensial terhadap dinasti monarki mereka.

Hanya saja, tidak ada satu pun yang menyukai Ikhwanul Muslimin, terlebih Putra Mahkota UEA dan menyebabkan negara ini mendukung faksi anti-Ikhwanul Muslimin sebagaimana Libya melihat kepentingannya semakin berbenturan dengan pemerintahan Islam Turki.

Dalam praktiknya, hal ini mengarah pada pembentukan persekutuan tidak resmi dari pemerintah negara-negara di Timur Tengah yang konservatif dengan kemampuan intelijen yang luar biasa dan diakui sebagai anggota asosiasi.

Israel sejauh ini merupakan negara paling maju dalam hal teknologi di Timur Tengah dengan penemuan-penemuan mutakhirnya. Jika persekutuan ini berhasil akan mendorong kemakmuran dan menaikkan wibawa UEA di mata internasional.

Jika menilik ke masa lalu, pada 1995 tak lama sebelum Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin dibunuh oleh seorang ekstremis Yahudi, dia mengirim Menteri Luar Negeri Shimon Peres dalam kunjungan resmi ke Oman dan Qatar.

Kantor Perdagangan Israel yang sederhana kemudian dibuka di ibu kota kedua negara.

Saya pun ingat ketika menelepon kantor mereka di Muscat untuk meminta komentar perwakilan Israel. Secara tidak sengaja dijawab dengan sapaan bahasa Ibrani “Shalom” sebelum akhirnya diubah menjadi bahasa Arab “Salaamu aleikum”.

Sebuah inisiatif perdagangan pun ‘layu’ setelah Netanyahu menjadi perdana menteri, lalu Israel melakukan intervensi di Lebanon, dan intifada atau perlawanan Palestina yang kedua meletus.

Tetapi baru-baru ini diplomasi senyap antara Israel dan negara-negara Teluk dipercepat karena ketakutan dan ekspansionisme Iran telah menjadi perhatian utama.

Bahrain, Oman dan Qatar kemungkinan akan mengikuti UEA jika pengumuman yang dilakukan bulan ini berjalan mulus.

Arab Saudi mungkin membutuhkan waktu lebih lama, namun pada 2002 Saudi-lah yang meluncurkan Rencana Perdamaian Putra Mahkota Abdullah dalam KTT Arab di Beirut dan menawarkan pengakuan penuh kepada Israel sebagai imbalan kembali ke perbatasan sebelum 1967.

Kesepakatan itu secara singkat menempatkan Perdana Menteri Israel, Ariel Sharon, pada tempatnya, akan tetapi beberapa hari kemudian Hamas melakukan pemboman dan semua pembicaraan dibatalkan.

Sekarang Timur Tengah menjadi tempat yang sangat berbeda dan apa yang dahulu tidak terpikirkan menjadi kenyataan.

“Coba tebak, kata apa yang paling banyak dicari secara online di UEA setelah kesepakatan diumumkan?” kata seorang pejabat Emirat. “Yaitu ‘hotel di Israel’. Banyak sekali orang tak sabar untuk berkunjung!”