Di Tengah Covid, Papua dan Papua Barat Tetap Dibayangi AIDS

0
689

HIV/AIDS sudah sejak lama menjadi masalah kesehatan utama di Papua, dan bahkan menjadi ancaman paling mematikan. Sayangnya sepanjang 2020 isu itu tertimbun oleh hadirnya Covid-19.

Papua selalu masuk dalam lima besar provinsi dengan jumlah kasus HIV/AIDS tertinggi di Indonesia. Tahun lalu, kasus HIV Papua ada di posisi keempat nasional dengan 37.662 kasus. Sedangkan untuk AIDS, Papua duduk di urutan teratas dengan 23.629 kasus.

Namun, pandemi mengubah banyak hal di Papua dalam penanganan HIV/AIDS, kata Vanda Kirihio, Direktur Yayasan Harapan Ibu, Papua.

“Kami yang menangani HIV/Aids, merasa dilupakan. Perhatian pemerintah semua ditujukan kepada Covid. Kita tahu perhatian pemerintah kesana lebih banyak, kemudian diikuti pendanaan yang banyak dengan fasilitas disediakan,” papar Vanda.

Padahal, lanjut Vanda, Papua tidak hanya memiliki masalah dengan Covid-19. Dia menyebut ATM, yaitu AIDS, TB dan Malaria sebagai problem besar menahun yang belum bisa diselesaikan. Terlalu fokus pada Covid-19, berisiko membawa Papua ke situasi sulit dalam penanganan tiga penyakit mematikan di Papua itu.

Setidaknya itu bisa dibaca pada data Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Kementerian Kesehatan Agustus 2020 lalu. Lima provinsi dengan kasus AIDS terbanyak adalah Papua 23.629, Jawa Timur 21.016, Jawa Tengah 12.565, DKI Jakarta 10.672 dan Bali 8.548. Sedangkan untuk lima provinsi dengan kasus HIV terbanyak ditempati DKI Jakarta 68.119, Jawa Timur 60.417, Jawa Barat 43.174, Papua 37.662, dan Jawa Tengah 36.262.

Hubungan Seks Jadi Penyebab Penularan Tertinggi

Vanda mengatakan, periode sebelum pandemi, sebenarnya penanganan kasus HIV/AIDS di Papua cukup baik. Salah satu faktornya, banyak lembaga nonpemerintah nasional maupun internasional, bekerja di Papua.

Vanda merinci, hubungan seks merupakan penyebab paling tinggi penularan HIV di Papua, dibanding penggunaan jarum suntik dan transfusi darah. Penularan di lingkup keluarga juga cukup dominan, meski tidak bisa diabaikan juga faktor hubungan seks di luar pernikahan. Aktivis HIV/AIDS ini memberi contoh, kota Jayapura tempatnya tinggal memiliki sekitar 40 tempat hiburan dengan lebih dari 500 pekerja seks.

“Kita sosialisasi penyampaian informasi, kemudian melakukan skrining Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS. Untuk Kota Jayapura, sudah punya klinik khusus dan teman-teman pramuria ini sudah terjadwal dengan baik untuk melakukan pemeriksaan di Pusat Kesehatan Reproduksi (PKR) secara rutin,” tambah Vanda.

Karena itulah Vanda mendesak Pemda Papua kembali berkonsentrasi menangani HIV/AIDS. Program yang sudah berjalan selama ini, tetap butuh dukungan. Ada risiko terlalu besar jika mengabaikan. Semua itu merupakan gangguan, di tengah Pemda yang terlalu konsentrasi ke Covid-19.

Papua Barat Juga Rentan

Di Papua Barat, penanganan Covid-19 juga menenggelamkan isu HIV/AIDS. Banyak program tahunan yang sudah ditetapkan, tidak terlaksana karena konsentrasi pemerintah daerah lebih banyak ke pandemi. Tidak hanya itu, menurut Siti Maryam Rumkakir, pandemi juga menjadi persoalan bagi ODHA disana. Siti adalah Koordinator Ikatan Perempuan Positif Indonesia, Papua Barat.

“Kalau untuk isu HIV atau program HIV untuk ibu dan anak yang saya pegang, untuk Papua Barat khususnya di kota Sorong, memang selama pandemi itu sangat bermasalah sekali untuk teman- teman perenpuan dengan HIV yang akan melakuan persalinan,” kata Siti Maryam.

Dia menjelaskan, prosedur yang sudah ditetapkan, seorang ODHA yang hamil, dengan status HIV di bawah enam bulan, tingkat kepatuhannya kurang baik, atau persyaratan persalinan normalnya belum diketahui, otomatis dia harus melakukan persalinan dengan operasi sesar. Masalahnya, rumah sakit rujukan di kota Sorong yang memiliki kepedulian terhadap pasien HIV, terdampak Covid-19 dan pernah menutup layanan.

Siti Maryam mengakui, memang ada beberapa rumah sakit swasta yang bisa melakukan pelayanan operasi sesar bagi ibu hamil dengan HIV/AIDS. Namun, skema pembayarannya melalui jalur umum. Sementara ODHA yang menjadi dampingan IPPI Papua Barat selama ini, mayoritas datang dari kelompok masyarkat miskis. Otomatis, mereka tidak akan mampu membayar biaya operasi yang mencapai belasan juta rupiah.

“Mereka memikirkan berkali-kali, harus mengikuti persyaratan untuk tidak menularkan ke anak tetapi dengan biaya yang mahal, atau ya sudah diam-diam melahirkan di dukun atau di rumah, tetapi resikonya besar buat anak,” jelas Siti Maryam.

Larangan berkerumum juga menghambat pelaksanaan program-program yang sudah direncanakan, ujar Siti Maryam. Selain itu, kegiatan yang biasanya dilaksanakan dinas juga berkurang drastis.

Siti Maryam mengatakan, hanya satu atau dua kegiatan saja yang terlaksana sepanjang 2020. Berbagai koordinasi lapangan yang biasanya mudah dilakukan antarpihak, selama tahun kemarin harus tertunda. Jika ditanyakan, dinas biasanya beralasan bahwa mereka sedang fokus dalam penanganan Covid-19.

Satu hal yang cukup melegakan, selama pandemi rumah sakit melakukan penyesuaian layanan, khususnya dalam pengambilan obat ARV bagi ODHA. Meski durasi layanan dikurangi, dari maksimal pukul 16.00 menjadi pukul 12.00, tetapi ODHA bisa memesan pengambilan obat melalui telepon.

Menurut data dinas kesehatan setempat, ada 20.496 kasus kumulatif HIV/AIDS di Papua Barat.