Bumi ‘Mendidih’ Buat Gelombang Panas dan Banjir Terjadi Bersamaan

0
223

Era pendidihan global memicu dua bencana yang kontradiktif, yakni gelombang panas dan hujan amat lebat yang menghasilkan banjir besar, terjadi bersamaan dalam intensitas lebih kuat.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) António Guterres mengatakan saat ini dunia berada pada masa pendidihan global, bukan lagi pemanasan global.

Dia memperingatkan, via situs PBB, “era pemanasan global telah berakhir” dan “era pendidihan global sudah tiba.”

“Perubahan iklim sudah ada di sini. Itu menakutkan. Dan ini baru permulaan. Masih mungkin membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat C [di atas tingkat pra-industri], dan menghindari perubahan iklim yang paling buruk. Tapi hanya dengan aksi iklim yang dramatis dan langsung,” ucap Guterres.

Angka 1,5 derajat Celsius merupakan batas kenaikan suhu pada 2050 sejak era Industri yang disetujui dalam Perjanjian Paris 2015. Sementara, pada Juni, kenaikan suhu rata-rata Bumi sudah melebihi batas tersebut.

Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dan program pengamatan Bumi Copernicus Uni Eropa, suhu global Juli bahhkan memecahkan rekor panas sepanjang masa.

Juli 2023, dalam data hingga pekan ketiga, pun dinobatkan mencatat periode terpanas yang pernah tercatat.

“Kami dapat mengatakan bahwa tiga minggu pertama bulan Juli adalah periode tiga minggu terhangat yang pernah diamati dalam catatan kami,” kata Carlo Buentempo, Direktur Layanan Perubahan Iklim Copernicus.

Pada saat yang sama, bencana gelombang panas dan banjir besar terjadi dalam rentang waktu yang bersamaan di banyak negara di belahan Bumi utara, seperti Eropa, China, AS.

Peneliti Klimatologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin menyebut pendidihan global ini memicu dua bencana yang bertolak belakang.

“Ada ancaman banjir dahsyat, di sisi lain ada ancaman dari gelombang panas. Ini yang sedang terjadi di negara-negara maju di belahan Bumi utara. Ini juga yang diperingatkan Sekjen PBB fase Bumi yang mendidih,” tuturnya, dalam keterangan via YouTube.

Infografis Dan Bumi pun Makin Panas

Kenapa ini bisa terjadi?

Ia menuturkan kenaikan rata-rata suhu dunia saat ini dibanding era Industri mencapai 1,35 derajat Celsius.

“Faktanya saat ini 2023, masih 17 tahun lagi [dari 2050], kita sudah di titik 1,35 [derajat Celsius), yang mengindikasikan kenaikan [suhu] lebih cepat terjadi dari yang diproyeksikan, diperkirakan, diramalkan. Inilah yang menggelesahkan para ilmuwan saat ini,” ujar dia.

Hal itu pulalah yang disoroti Sekjen PBB soal era Bumi yang mendidih. Erma menyebut titik ini Bumi dalam kondisi titik kritis (tipping point). Bahwa, anomali suhu yang sangat panas memicu cuaca dan iklim dunia “yang tak bisa terkontrol lagi, sangat liar.”

“Karena tipping point ini adalah puncak. Setelah Bumi berada tipping point, kondisi selanjutnya adalah titik decline atau kondisi kehancuran,” cetusnya.

Era Bumi yang mendidih ini, jelas Erma, berefek langsung pada kenaikan suhu dalam bentuk gelombang panas. Yang saat ini terdampak adalah negara-negara di belahan Bumi utara.

Gelombang panas ini, kata dia, juga mengalami kenaikan suhu dari peristiwa sejenis sebelumnya. Contoh, tadinya rata-rata 45–50 derajat Celsius, menjadi 50–55 derajat Celsius.

“Negara-negara di belahan Bumi utara mengalami ancaman serius, bukan hanya ancaman, tapi memang sudah mereka alami,” ucap Erma, “Gelombang panas itu, hotspot, hutan terbakar.”

Efek lainnya adalah banjir besar. Erma menjelaskan suhu Bumi yang meningkat memicu siklon tropis atau badai tropis makin kencang dan besar kekuatannya.

“Siklon-siklon tropis terjadi lebih parah, kekuatannya lebih dahsyat, tornado terjadi lebih mematikan, dan seterusnya, mungkin 2-3 kali lipat,” ungkapnya.

“Tornado yang dihasilkan di darat lebih kuat, hancurlah infrastruktur,” lanjut Erma.

Siklon tropis yang lebih kuat itu pun membawa hujan yang lebih deras.

“Dampak peningkatan [suhu rata-rata global] 1,1 derajat Celsius saja menyebabkan banji besar banjir dahsyat di Pakistan, India, Korea, dan baru2 ini terjadi di Jepang, China, Amerika Serikat dalam waktu yang beruntun, berentetan Mei hingga Juni 2023,” urainya.

Sumber : CNN [dot] COM