Emmerson ‘Buaya’ Mnangagwa, calon presiden Zimbabwe yang dilatih di Cina

0
1281

Sudah menjadi rahasia umum di Zimbabwe bahwa selama bertahun-tahun Emmerson Mnangagwa ingin menggantikan Robert Mugabe sebagai presiden.

Mugabe sendiri tampak plin-plan. Pada 2014, Mnangagwa diangkat sebagai wakil presiden. Oleh istri Mugabe, Grace, mantan menteri kehakiman itu disebut sosok yang “setia dan disiplin”. Pengangkatan tersebut meningkatkan spekulasi bahwa Mnangagwa adalah ‘putra mahkota’ yang bakal menjadi presiden.

Namun, awal November ini, Mnangagwa dipecat dari posisinya. Menteri Informasi Zimbabwe mengatakan sang wakil presiden “menunjukkan perilaku ketidaksetiaan”.

Pemecatan ini membuat pria yang dijuluki ‘buaya’ tersebut balik menggigit melalui sokongan sahabatnya, panglima militer Constantino Chiwenga.

Beberapa hari setelah Mnangagwa dipecat, militer Zimbabwe menguasai Ibu Kota Harare dan menempatkan Mugabe sebagai tahanan rumah.

Kini, setelah Mugabe mengundurkan diri, jalan terbuka bagi Mnangagwa untuk berkuasa. Apalagi, ketua partai berkuasa Zanu-PF mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa Mnangagwa akan diangkat menjadi presiden “dalam 48 jam” mendatang.

Meski demikian, siapapun yang berharap bahwa Mnangagwa akan berbuat banyak untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia di Zimbabwe, kemungkinan harus kecewa.

Sejumlah kritikus menilai ada darah di tangan pria berusia 71 tahun itu.


Sosok Emmerson Mnangagwa

  • Dijuluki ‘buaya’ karena kecerdikannya di ranah politik. Julukan itu sedemikian melekat sehingga faksi yang dipimpinnya di tubuh Partai Zanu-PF dinamai ‘Lacoste’—merk pakaian berlambang buaya.
  • Mendapat pelatihan militer di Cina dan Mesir.
  • Disiksa pasukan Rhodesia setelah ‘gerombolan buaya’ pimpinannya menggelar serangan.
  • Salah satu tokoh dalam perang kemerdekaan Zimbabwe pada era 1970-an.
  • Menjadi kepala intelijen Zimbabwe pada konflik sipil 1980-an. Ketika itu, ribuan warga sipil dibunuh, namun dia membantah punya peranan dalam pembantaian dan menyalahkan tentara.
  • Dipandang sebagai tokoh kunci dalam hubungan antara militer, badan intelijen, dan Partai Zanu-PF.
  • Dituduh mendalangi serangan terhadap pendukung oposisi setelah pemilu 2008.

Mereka yang terlibat dalam perang kemerdekaan pada 1970-an, seperti Mnangagwa, telah lama memonopoli kekuasaan di Zimbabwe.

Didorong kekhawatiran bahwa kekuasaan itu akan lenyap jika Grace Mugabe menggantikan posisi suaminya, mereka pun bertindak.

Tatkala Jenderal Constantino Chiwenga menyatakan menentang “pemberangusan yang menargetkan anggota partai yang punya latar belakang perang kemerdekaan”, dia jelas merujuk pada pemecatan terhadap sahabat dekatnya, Mnangagwa.

“Bila menyangkut melindungi revolusi kita, militer tidak akan ragu melangkah,” tegas Chiwenga.

Skenario es krim

Peluang Mnangagwa untuk berkuasa di Zimbabwe tampaknya sirna setelah dia dipecat dari posisi sekretaris administrasi Partai Zanu-PF pada 2005. Padahal, jabatan itu dapat membuatnya menempatkan para pendukungnya di posisi-posisi kunci partai.

Namun, peluang berikutnya muncul pada 2008 setelah Mugabe mengalami kekalahan pada putaran pertama pemilihan presiden dari pesaingnya Morgan Tsvangirai.

Mnangagwa kemudian menunjukkan kelihaiannya sebagai dalang kampanye politik Zanu-PF dengan menjalin koneksi militer dan intelijen.

Akibatnya, militer dan organisasi keamanan negara melakukan aksi kekerasan terhadap pendukung oposisi sehingga ratusan orang meninggal dunia dan ribuan lainnya mengungsi dari rumah mereka.

Tsvangirai kemudian menarik diri dari putaran kedua dan Mugabe terpilih kembali sebagai presiden.

Mnangagwa tidak pernah berkomentar mengenai tuduhan bahwa dia terlibat merencanakan aksi kekerasan.

Kendati demikian, seorang sumber di dalam divisi keamanan Partai Zanu-PF mengamini Mnangagwa merupakan tokoh penghubung militer, intelijen, dan partai.

“Dia mengurusi pendanaan partai, mengatur kampanye yang ada keterkaitannya dengan keamanan dan partai. Mugabe mendengar omongannya untuk segala hal,” kata sumber tersebut.

Namun, belakangan itu semua berubah.

Persaingannya dengan istri presiden, Grace Mugabe, berujung pada sebuah peristiwa Agustus lalu. Saat itu, Mnangagwa jatuh sakit dalam pawai politik dan harus diangkut ke Afrika Selatan untuk mendapat perawatan.

Para pendukungnya menuduh kelompok pesaing di tubuh Partai Zanu-PF telah meracuninya dengan es krim buatan peternakan milik Grace Mugabe.

Di detik-detik terakhir, toh Mnangagwa dan jaringannya terlalu kuat. Mugabe sepakat mengundurkan diri, dan berakhir pula persaingan Mnangagwa dan Ibu Negara.

Jalinan Kongo

Mnangagwa dilahirkan di kawasan Zvishavane dari kelompok sub-etnik Karanga, yang merupakan bagian terbesar dari komunitas Shona.

Sebagian dari kelompok Karanga berpendapat inilah saatnya mereka berkuasa setelah didominasi selama 37 tahun oleh Mugabe yang berasal dari kelompok etnik Zezuru.

Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2001, Mnangagwa dipandang sebagai “perancang aktivitas komersial dari Zanu-PF”.

Aktivitas yang dimaksud sebagian besar terkait dengan proyek militer Zimbabwe di Republik Demokratik Kongo.

Dalam konflik Republik Demokratik Kongo, pasukan Zimbabwe mengintervensi dan memihak kubu pemerintah. Selama periode itu, militer Zimbabwe dituduh memanfaatkan konflik untuk menjarah sumber daya alam, termasuk berlian, emas, dan bahan mineral lainnya.

Meski perannya besar dalam kegiatan pengumpulan dana, Mnangagwa tidak begitu disukai oleh para kader Partai Zanu-PF.

Salah seorang veteran perang kemerdekaan Zimbabwe yang pernah bekerja sama dengan Mnangagwa selama bertahun-tahun, mengatakan: “Dia adalah pria yang sangat keji, sangat keji.”

Seorang pejabat Partai Zanu-PF melontarkan pertanyaan retorika ketika ditanya soal prospek Mnangagwa memimpin Zimbabwe.

“Anda pikir Mugabe buruk, namun pernahkah Anda berpikir bahwa siapapun yang menggantikannya bisa jadi lebih buruk?”

Blessing Chebundo, kandidat dari kubu oposisi yang mengalahkan Mnangagwa dalam pemilihan umum legislatif 2000, sepakat bahwa pesaingnya bukanlah sosok penjunjung perdamaian.

Chebundo hampir tewas ketika barisan pemuda Partai Zanu-PF menculiknya dan menyiramnya dengan bensin. Dia luput dari kematian karena para pemuda itu gagal menyalakan korek api.

Reputasi menyeramkan Mnangagwa tercipta pada masa perang sipil yang meletup gara-gara pertikaian antara kubu Partai Zanu pimpinan Mugabe dan Partai Zapu pimpinan Joshua Nkomo.

Sebagai Menteri Keamanan Nasional, Mnangagwa mengepalai Organisasi Pusat Intelijen (CIO) yang bekerja sama dengan militer untuk menekan Zapu.

Ribuan warga sipil, sebagian besar kelompok etnik Ndebele yang dipandang sebagai pendukung Zapu, tewas dibunuh. Ada pula cerita tentang penduduk desa yang ditodong, dipaksa berjoget, dan meneriakkan yel-yel pro-Mugabe di samping kuburan basah keluarga mereka.

Konflik itu berakhir melalui Kesepakatan Persatuan 1987 dan kedua partai berkoalisi dengan nama Zanu-PF.

Bagaimanapun luka perang sipil masih menyakitkan bagi sebagian masyarakat dan pejabat partai. Penduduk di kawasan Matabeleland, misalnya, enggan mendukung Mnangagwa sebagai presiden.

Dilatih di Cina

Mnangagwa punya banyak teman di kalangan veteran perang yang pada tahun 2000 lalu memimpin aksi kekerasan terhadap petani kulit putih dan oposisi.

Kalangan tersebut memandang Mnangagwa sebagai salah satu tokoh pemimpin perang kemerdekaan pada 1970-an. Predikat itu tambah mentereng mengingat Mnangagwa pernah mendapat pelatihan militer di Cina. Dia dididik di Sekolah Ideologi Beijing yang dikelola Partai Komunis Cina.

Pada masa itu, Cina memang menjadi sekutu penting Mugabe. Bahkan, Cina juga yang menyediakan senjata dan pelatihan untuk gerilyawan Zimbabwe.

Catatan biografi resmi Mnangagwa menyebut dia merupakan korban kekerasan negara setelah ditahan pemerintah Rhodesia yang terdiri dari kelompok minoritas kulit putih pada 1965. Penahanan itu dilakukan lantaran ‘gerombolan buaya’ pimpinannya meledakkan kereta dekat Fort Victoria (kini Masvingo).

“Dia disiksa yang mengakibatkan kehilangan pendengaran di salah satu telinga,” sebut biografi itu.

“Teknik penyiksaan yang dilakukan antara lain menggantung kakinya di langit-langit dengan posisi kepala di bawah. Kerasnya penyiksaan ini membuat dia tidak sadar selama berhari-hari.”

Karena dia berusia di bawah 21 tahun ketika itu, dia tidak dieksekusi mati tapi dihukum penjara selama 10 tahun.

“Dia punya luka akibat masa itu. Dia muda dan berani. Mungkin itu yang menyebabkan dia tidak peduli. Hal-hal keji terjadi padanya ketika dia masih muda,” ujar seorang teman dekat Mnangagwa, yang menolak namanya disebutkan.

Sumber : bbc.com