Sejumlah kalangan mengecam kegiatan penukaran buku dengan tembakau yang digagas seorang pengusaha di Bandung, Jawa Barat.
Aktivis Pustaka Bergerak, Nirwan Arsuka, menilai kampanye tembakau, yang erat kaitannya dengan rokok, sebaiknya dipisahkan dengan gerakan literasi.
Pasalnya, kata Nirwan, gerakan literasi selama ini menyasar kelompok anak-anak dan remaja. Sangat tidak bijak, menurutnya, apabila kegiatan kampanye itu digabungkan.
“Gerakan literasi itu kebanyakan buat generasi muda dan anak-anak. Jadi kalau advokasi tembakau dikaitkan dengan kegiatan anak-anak, menurut saya agak kurang bijak ya,” paparnya kepada wartawan di Bandung, Julia Alazka.
Kegiatan penukaran satu buku cerita anak dengan sebungkus tembakau kering digagas Ferry Firman, pemilik produk tembakau bermerek “Paman”.
Ferry menjelaskan, tukar buku dengan tembakau sebetulnya hanya satu cara untuk mengedukasi masyarakat tentang manfaat tembakau. Bako Paman sendiri, ujar Ferry, memiliki misi melestarikan tembakau Indonesia dan juga misi sosial dengan mendukung gerakan literasi.
Buku yang terkumpul, lanjut Ferry, akan digunakan untuk membuat taman bacaan di daerah-daerah penghasil tembakau, seperti Garut dan Sumedang.
“Saya nanti ke depannya bakal bikin taman baca di seluruh Indonesia yang memang ada kebun tembakaunya. Saya bikin taman bacaannya buat anak-anak petani tembakau, gratis,” ujar Ferry.
Dia tak menyangkal bahwa ceruk pasar yang diincar adalah anak-anak muda berusia 18 tahun ke atas.
“Buat menjaring segmen anak muda. Kasarnya anak kecil ngerokok juga nggakapa-apa. Cuma karena norma yang berlaku di sini, di Indonesia nggak kayak gitu, saya juga tetap harus menghargai itu,” kata Ferry.
Tembakau menyehatkan?
Ferry tidak masalah jika idenya itu dianggap mengkampanyekan rokok kepada generasi muda. Karena, dia berdalih, tembakau yang dia bagikan berbeda dengan rokok pabrikan yang beredar di pasaran.
Ferry meyakini tembakau yang masih berupa daun kering dan belum diproses secara pabrikan lebih menyehatkan.
“Kalau tembakau cuma punya nikotin saja. Kalau rokok pabrikan punya tar. Itu yang bahaya. Kalau tembakau murni ini, nggak bahaya sama sekali bagi perokok pasif, maupun perokok aktif,” ujar pria berusia 30 tahun ini.
Argumentasi tersebut ditepis Prof Dr Faisal Yunus, Ketua Kolegium Pulmonologi Indonesia (KPI) yang merupakan badan pengelola pendidikan dokter spesialis paru.
Dia menegaskan hasil riset medis selama ini secara meyakinkan menyebut bahwa nikotin berbahaya bagi kesehatan manusia.
“Semua penelitian, semua jurnal manapun di dunia, nikotin itu berbahaya. Nikotin juga menyebabkan kecanduan. Kalau dia mengatakan nikotin tidak berbahaya, itu kan menurut dia. Apa sudah diteliti belum? Nggak bisa satu orang mengklaim begitu kalau belum melakukan uji yang betul,” cetus Faisal.
“Untuk seseorang menjadi pengidap kanker paru kan nggak merokok sebulan-dua bulan, tapi 20 tahun. Sudah pernah penelitian 20 tahun belum?” sambungnya.
Tembakau adalah salah-satu industri paling bernilai dalam ekonomi Indonesia. Tiga tahun lalu ditaksir nilainya mencapai Rp200 triliun.
Namun di sisi lain, angka penyakit dan kematian akibat rokok juga sangat tinggi. Tahun 2007 lalu, jumlah korban jiwa akibat rokok sedikitnya mencapai 400 ribu.
Sumber : bbc.com