Seperti apa rasanya hidup layaknya vampir — tak mendapatkan cukup sinar matahari?
Pada Desember 2017, Moskow, ibu kota Rusia, hanya merasakan enam menit matahari bersinar tanpa terhalang awan, mematahkan rekor ‘bulan tergelap’ sebelumnya.
Seorang mahasiswa Indonesia yang tinggal di Moskow, Clara Rondonuwu, menuliskannya untuk BBC Indonesia.
Desember 2017 tercatat sebagai ‘bulan tergelap’ buat Moskow, cuma enam menit matahari bersinar tanpa terhalang awan.
Mendung di Moskow mematahkan rekor ‘bulan tergelap’ sebelumnya, yakni Desember 2000 saat sinar matahari hanya bisa dinikmati tiga jam dalam sebulan.
Sementara pada awal Februari 2018, salju yang turun tercatat sebagai yang paling banyak dalam kurun sehari sejak pencatatan data cuaca dimulai, mengalahkan rekor sebelumnya yang terjadi pada 1957.
Lalu seperti apa rasanya hidup layaknya vampir — tak mendapatkan cukup sinar matahari?
Warga Moskow, yang sudah mengenal kejamnya musim dingin di daratan Negeri Beruang Merah menganggap anomali yang mengakibatkan kota itu miskin ultraviolet sebagai hal ‘wajar’.
”Tapi barangkali iya, Desember lalu memang selalu mendung,” kata Yulia Batakova, yang mengajarkan saya berbahasa Rusia di Institut Pushkin, Moskow. Dia kurang yakin sebab matahari memang jarang ada di musim dingin.
Apalagi dua tahun terakhir, menurutnya ada dua fenomena janggal terjadi yaitu salju yang turun mendadak di Mei 2016 dan bulan yang terbit berdempetan dengan matahari di bulan Juni.
”Itu lebih fenomenal, kalau buat saya,” imbuh Yulia.
Untuk bertahan hidup bak vampir, dengan cahaya matahari serba minim, resep dari dia yaitu memindahkan pot ke bawah lampu untuk memperpanjang hidup tanaman dan memanfaatkan siang yang redup bermain ski dan seluncur es — saat suasana sekitar masih kelihatan.
”Sekalian ke apotek, borong suplemen vitamin D,” demikian sarannya untuk amunisi alternatif di musim dingin yang baru akan tuntas Februari.
‘Matahari buatan’
Selama musim dingin, matahari terbit sekitar pukul 09.00 dan tenggelam sekitar pukul 16.00. Namun, cahayanya lebih sering terhalang mendung sehingga siang di Moskow begitu redup.
Kawan saya Svetlana Kotchetkova, sepanjang Desember dia sudah tiga kali bolak-balik ke solarium di salon di sebelah kampus.
Solarium tergolong layanan kecantikan yang jamak ditemukan di Moskow, sama seperti layanan creambath yang ada di hampir setiap sudut Jakarta.
Berupa kamar yang dipasangi lampu-lampu ultraviolet. Di situ, selama 5-10 menit Svetlana menikmati paparan ”matahari buatan” supaya kulit putihnya tidak bertambah pucat.
”Saya tidak suka suplemen. Ke solarium lebih praktis.”’
Sementara itu saya, yang baru pindah November lalu dari teriknya Jakarta ke kota semacam Moskow, cukup kewalahan. Ritme tubuh berantakan, khususnya saat beraktivitas di luar ruang.
Ada hari-hari di saat saya berkeliling ke sekitar Kremlin dan lapangan Merah, mendadak tubuh letih dan siap tidur. Saat melirik jam rupanya baru pukul enam sore. Sedangkan tubuh saya rasanya seperti sedang beraktivitas di pukul 21.00.
Kira-kira mendekati pengunjung Desember, matahari Moskow yang saya tunggu-tunggu akhirnya datang.
Buru-buru pakai jaket tebal dan merapatkan celah baju supaya panas tubuh tidak keluar, tapi apa boleh buat sampai di luar sana rupanya momentum itu sudah berlalu.
Awan sudah berjejalan di langit dan angin musim dingin bertiup kencang.
Di bawah titik beku
Suhu Moskow bisa mencapai kisaran minus 10 Celsius. Udara dinginnya menusuk sampai ke tulang, bahkan es di permukaan Danau Patriarshiye di pusat kota sudah demikian tebal hingga bisa dipakai bermain seluncur es.
Biarpun begitu, warga Moskow menghadapinya dengan datar.
Temperatur tahun ini justru dianggap jauh lebih hangat. Dan memang betul, sebab pantauan Badan Meteorologi setempat selama Desember 2017 suhu Moskow lebih hangat 5,8 derajat Celsius dari biasanya.
Saya masih ingat obrolan dengan warga Indonesia di KBRI Moskow, bulan lalu. Dia yang tinggal sejak dekade 1960-an di kota ini menilai musim dingin sudah banyak berubah dan jauh lebih hangat.
”Paling tidak 5-10 tahun yang lalu, tebalnya salju di bulan Desember sudah setinggi jendela rumah. Sekarang pemandangan semacam itu tidak ada lagi, cuma bisa dilihat di kota-kota kecil pinggiran Moskow,” kata dia.
Sumber : bbc.com