Libya belum siap menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas dan adil, menurut kelompok Human Rights Watch (HRW).
Oposisi negara itu berencana untuk mengadakan pemilihan parlemen dan presiden akhir tahun ini, tetapi belum ada tanggal yang pasti.
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Uni Eropa mendukung jika Libya melakukan pemilihan umum.
Tetapi HRW khawatir “pemilih, kandidat, dan partai politik” akan berisiko terjadinya “paksaan, diskriminasi, dan intimidasi” jika pemungutan suara dilaksanakan.
Kelompok hak asasi yang berbasis di AS tersebut khawatir jika kondisi yang diperlukan untuk pemilihan umum yang bebas dan adil akan sulit untuk dipenuhi di negara Timur Tengah Afrika Utara, mengingat terjadinya kekacauan menyusul penggulingan Muammar Gaddafi pada tahun 2011.
HRW mengatakan kebebasan berbicara, supremasi hukum, berkumpul dan peradilan yang mampu menangani secara adil dan segera atas semua perselisihan mengenai pemilihan harus dihormati.
Namun kelompok-kelompok bersenjata terus mengancam, mengintimidasi, dan menyerang para pejabat dan pihak pengadilan, kata HRW.
Ini juga menunjukkan bahwa “kerangka hukum untuk pemilihan masih buram”, dan mendesak komisi pemilu untuk melakukan “audit transparan dari daftar pemilih untuk mengesampingkan ketidakakuratan apa pun”.
Libya saat ini dijalankan oleh segudang kelompok oposisi, yang membuat sulit untuk mengamankan segala jenis proses pemilihan.
Presiden termasuk Perdana Menteri Fayez al-Sarraj, yang memimpin perjanjian nasional yang didukung PBB, dan komandan militer di Libya Timur, Khalifa Haftar, yang memimpin Libyan National Army (LNA), mereka berdua sepakat untuk menyelenggarakan pemilu pada paruh pertama 2018, selama pertemuan Juli 2017 di Paris, yang diselenggarakan oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron.