Puluhan warga Ahmadiyah dari Desa Manislor, Kuningan, Jawa Barat, mendatangi Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil untuk menagih janji pemberian KTP elektronik, pada Senin (24/07).
Pemimpin Ahmadiyah di Manislor, Irfan Maulana, mengatakan kedatangan mereka merupakan tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya dengan Ditjen Dukcapil, Kementerian Dalam Negeri.
Irfan menginginkan agar Ditjen Dukcapil bisa mencetak KTP elektronik warga Ahmadiyah Manislor.
“Secara UU kan ada bisa dicetak di daerah lain, beberapa kali teman-teman kita yang cetak di sini bisa,” jelas Irfan.
Tetapi warga Ahmadiyah hanya ditemui oleh Direktur Kependudukan, Drajat Wisnu Setiawan, yang berjanji akan menyampaikan keinginan mereka pada Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Drajat juga mengagendakan pertemuan pada pekan depan.
Dalam pertemuan dengan Direktur Kependudukan, yang berlangsung di masjid kompleks kantor Dukcapil, warga Ahmadiyah dijanjikan untuk dapat mencetak KTP elektronik di Jakarta begitu ada persetujuan dari Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
“Begitu ada persetujuan (dirjen) bisa dicetak, bisa bawa bukti perekaman dan kartu keluarga,” kata dia.
Baca kalimat syahadat
Pencetakan KTP elektronik oleh pemerintah pusat, menurut Irfan, merupakan jalan penyelesaian bagi masalah yang dihadapi oleh warga Ahamdiyah di Manislor.
“Kalau secara normal (kita) harus baca syahadat jadi tak ada titik temu kita mendorong supaya pencetakan KTP ini bisa dilakukan di sini,” kata Irfan.
Setelah pertemuan dengan Dirjen Dukcapil dan Ombusman pada 10 Juli lalu, warga Ahmadiyah, Dessy Ariesandy, mengaku sudah mendatangi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Kuningan. Alih-alih mendapatkan KTP elektronik, dia malah harus menandatangani surat pernyataan membaca dua kalimat syahadat.
“Saya malah disuruh tanda tangan surat pernyataan, kalau tidak mereka tak akan kasih KTP elektronik, saya tidak mau,” tegas Dessy.
Dia mengaku selama lima tahun terakhir tak memiliki KTP dan mengalami kendala dalam urusan administrasi, seperti di perbankan dan pernikahan.
“Karena syarat mencairkan uang di bank dengan buku tabungan dan KTP ya saya nggak bisa, menikah pun harus di tempat lain karena tak ada identitas,” kata Dessy.
Pada 2015 lalu Dessy terpaksa menikah di Kota Cirebon karena adanya hambatan administrasi di Manislor.
Berbekal selembar kertas
Selama bepergian Dessy memegang satu lembar kertas yang dikeluarkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Kuningan yang menyebutkan dirinya telah melakukan perekaman data sebagai salah satu proses pembuatan KTP elektronik.
Kondisi yang sama dialami oleh sekitar 1.400 warga Desa Manislor.
Peneliti Setara Institute, Ismail Hasani, mengatakan opsi untuk mencetak KTP elektronik di Jakarta pernah dilakukan untuk warga Ahmadiyah di Bangka dan juga beberapa penganut kepercayaan.
“Jadi presedennya sudah ada karena waktu itu teman-teman Ahmdiyah Bangka dipersulit juga oleh bupati, dan sempat ditegur oleh menteri dalam negeri, dalam pertemuan sebelumnya warga Ahmadiyah Manislor juga diberikan pilihan itu,” kata dia.
Ismail mengatakan tidak diterbitkannya KTP elektronik warga Ahmdiyah di Manislor ini menimbulkan diskriminasi dalam layanan publik.
“Pemberian KTP ini kunci pelayanan publik, kalau tidak dilakukan, diskriminasi layanan publik akan berlanjut, bahwa disebutkan ada alasan teologis tapi itu bukan urusan negara dan tidak boleh menghambat hak konstitusi warga negara,” kata dia.
Sumber : bbc.com