Barang bukti yang didapat dari perangkat elektronik sah dijadikan sebagai dasar tilang pelanggaran lalu lintas. Maka itu, bentuk penindakan baru mengandalkan kamera pemantau (CCTV) yang akan diuji coba pada Oktober nanti oleh Polda Metro Jaya memungkinkan untuk dilakukan.
Ada dua regulasi yang menjadi pondasi tilang CCTV. Pertama yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada Pasal 272 isinya mengatur:
(1) Untuk mendukung kegiatan penindakan pelanggaran di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dapat digunakan peralatan elektronik.
(2) Hasil penggunaan peralatan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Kedua, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada Pasal 28 menetapkan;
(1) Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang didasarkan atas hasil rekaman peralatan elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf c, Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dapat menerbitkan Surat Tilang.
(2) Surat Tilang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan bukti rekaman alat penegakan hukum elektronik.
(3) Surat Tilang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pelanggar sebagai pemberitahuan dan panggilan untuk hadir dalam sidang pengadilan.
(4) Dalam hal pelanggar tidak dapat memenuhi panggilan untuk hadir dalam sidang pengadilan, pelanggar dapat menitipkan uang denda melalui bank yang ditunjuk oleh Pemerintah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penindakan pelanggaran berdasarkan alat bukti rekaman elektronik diatur dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kepala Subdit Penegakan Hukum Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Budiyanto menjelaskan barang bukti berupa foto atau capture hasil rekaman CCTV dapat menggantikan barang bukti Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) yang biasanya digunakan pada penindakan konvensional.
Selain regulasi yang sudah dijelaskan di atas, Budiyanto juga mengatakan ada regulasi lain yang bisa memperkuat dasar hukum pemanfaatan CCTV untuk tilang, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Bukti cukup dari CCTV, kan ada hasil rekaman. Di UU ITE ada bahwa informasi, dokumentasi, dan hasil cetak elektronika dapat digunakan menjadi alat bukti pengadilan. Jadi pakai CCTV,” ucap Budi, Kamis (20/9).
Pelanggar Belum Tentu Pemilik
Mekanisme tilang CCTV dimulai dari kamera yang menangkap pelanggaran. Hasil rekaman digunakan sebagai barang bukti, selain itu dipakai juga untuk mengidentifikasikan pelat nomor kendaraan.
Berdasarkan pelat nomor itu, kepolisian mengetahui identitas dan informasi lainnya tentang pemilik kendaraan.
Dari hasil rekaman pelanggaran, surat tilang bisa dibuat. Kemudian notifikasi dikirim ke alamat pemilik kendaraan.
Ada masalah yang kemungkinan terjadi, misalnya pelanggar bukan pemilik. Bisa semakin pelik bila ternyata pemilik sudah menjual mobil, namun pembelinya belum ganti nama di Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).
Budiyanto mengatakan buat mengurangi salah sasaran kepolisian memakai metode konfirmasi kepada pemilik kendaraan yang teridentifikasi.
“Makanya ada konfirmasi, jadi bisa pakai telepon. Kami akan tanya apa iya tadi mobil melanggar dan benar bapak atau ibu yang mengendarai,” ucapnya.
Tilang CCTV sebetulnya bukan hal baru di Indonesia. Di beberapa kota besar, contohnya di Surabaya, sudah lebih dulu memberlakukan tilang CCTV.
Pada Oktober 2018 mendatang, uji coba tilang CCTV akan berlaku di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Ada enam kamera yang sudah di siapkan di tiga persimpangan di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat. Sementara ini tilang CCTV di Jakarta tidak berlaku untuk kendaraan non pelat nomor B. \
Sumber : CNN [dot] COM