Teori konspirasi mengenai rupa Bumi datar yang berkembang tak dipungkiri ada peran teknologi di dalamnya. Dr. Harry Dyer, dosen pendidikan di University of East Anglia menilai berkembang luasnya teori konspirasi dipengaruhi perkembangan media sosial.
Dyer meyakini media sosial mempermudah para penganut teori konspirasi untuk berkomunikasi, mengembangkan, dan bertemu untuk membahas apa yang mereka yakini.
Atas dasar ini, Dyer menyebut para ilmuwan tidak mampu mengendalikannya sebab suara penganut teori konspirasi acap kali sangat kuat.
“Di media sosial, setiap orang bisa berpendapat dan menciptakan pengetahuan. Selebritis seperti B.o.B dapat mengatakan tentang bentuk Bumi bersama Neil deGrasse Tyson karena memiliki pijakan yang sama di Twitter, dan itu berarti bahwa pengetahuan telah dipisahkan dari struktur kekuatan tradisional,” ujar Dyer mengutip Science Focus.
Sementara itu, Dr Rob Brotehrton yang merupakan psikolog di University of London mengatakan era digital seperti sekaran sebenarnya bisa menghambat perkembangan teori konspirasi. Meski tak dipungkiri jika dirunutu ke belakang, perkembangan teori konspirasi telah ada dan belakangan tercatat bukan termasuk masa keemasannya.
“Orang-orang selalu mengatakan bahwa ini adalah zaman keemasan teori konspirasi, bahwa tidak pernah ada lebih dari sekarang, tetapi dari perspektif historis menunjukkan bahwa itu mungkin tidak terjadi,” ujar Brotherton saat diwawancara BBC.
Penelitian yang dilakukan Joseph E Uscinski dan Joseph M Parent pada 2014 mencatat masa pesat perkembangan teori konspirasi terjadi pada tahun 1950-an. Padahal di masa itu, orang takut pada paham komunisme. Namun keyakinan akan teori konspirasi tak berubah seiring berkembangnya ilmu pengetahuan alam.
Teori konspirasi sebagai fenomena psikologi
Brotherton menjelaskan dari sisi psikologi, teori konspirasi merupakan bagian dari fenomena yang spektrumnya dimiliki oleh setiap orang. Meski tingkat kecenderungan kepercayaan pada masing-masing orang tingkatannya berbeda-beda.
“Percaya pada teori konspirasi adalah, paling tidak sebagian, fenomena psikologis. Setiap orang memiliki spektrum: beberapa lebih cenderung untuk percaya dan ada yang kurang, dan masuk akal bahwa ini akan tetap relatif stabil sepanjang waktu,” jelasnya.
Menurutnya, manusia memiliki bias dalam melihat makna hanya pada titik-titik kacau tak berpola sehingga terkadang otak membuat pola yang sebenarnya pola tersebut tidak benar-benar ada.
Brotherton menjelaskan otak manusia memiliki manfaat evolusioner, misalnya ketika mendengar suara dari balik semak-semak yang diyakini disebabkan oleh harimau ketimbang angin. Orang yang mendengar suara akan mengambil tindakan untuk menghindar demi menyelamatkan hidup dari terkaman harimau.
“Jadi kalau berbicara tentang teori konspirasi, itu semua tentang mengambil informasi yang ambigu dan menenun semuanya menjadi satu, menemukan pola dan menghubungkan titik-titik itu,” imbuh Brotherton.
Psikolog mencatat ada sejumlah bukti yang menunjukkan saat seseorang merasa semakin paranoid, maka mereka cenderung memercayai teori-teori ini. Namun, Brotherton mengatakan kecenderungan seseorang memercayai teori konspirasi dan perasaan paranoid memiliki hubungan yang tidak parah.
Disamping itu, teori terbaru juga mendapati bahwa orang yang lebih mungkin percaya pada teori konspirasi juga cenderung memiliki kebutuhan untuk merasa unik. Mereka cenderung memiliki keinginan berada di kelompok kecil yang berisi orang-orang yang merasa ‘tahu’.
Menurut psikolog, teori konspirasi mengenai Bumi datar secara umum tidak berbahaya. Namun, ketika seorang penganut teori konspirasi membuat teori sendiri mengenai kesehatan misalnya, maka hal itu bisa membahayakan keadaan dan lingkungannya sendiri.