Di zaman kiwari, orang beramai-ramai mengenakan masker yang konon dapat melindungi tubuh dari polusi sekaligus penularan penyakit melalui udara, termasuk salah satunya Tuberkulosis (TBC).
Udara adalah medium penularan TBC paling umum. Bakteri Mycrobacterium tuberculosis terdapat dalam dahak yang dikeluarkan seseorang saat batuk.
TBC menjadi salah satu persoalan kesehatan terbesar di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat sekitar 1,6 juta orang meninggal karena penyakit menular satu ini. Di Indonesia, jumlah kasus baru TBC mencapai 420 ribu kasus pada 2017 lalu.
Namun, seberapa efektifkah penggunaan masker dalam mencegah virus influenza atau bahkan bakteri yang menyebabkan TBC?
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Wiendra Waworuntu menjelaskan masker merupakan salah satu metode pencegahan yang efektif untuk mencegah penularan virus.
“Masker itu salah satu pencegahan. Masker umum yang dijual bebas saja, yang penting bisa menutup hidung dan mulut, misalnya di keramaian,” ujar Wiendra pada CNNIndonesia.com saat berbincang mengenai TBC beberapa waktu lalu dalam rangka memperingati Hari TBC Sedunia pada 24 Maret 2019.
Orang yang sedang sakit dan memakai masker, kata Wiendra, dapat mengurangi risiko penularan penyakit kepada orang lain. Masker dapat menghambat percikan dahak ke udara bebas yang menjadi perantara penularan penyakit flu dan TBC.
Namun, sebuah penelitian menyebut bahwa efektivitas masker mencegah paparan bakteri dan polutan tergantung pada beberapa hal seperti jenis polutan, bahan masker, dan penggunaan masker pada wajah. Mengutip The Conversation, penelitian menunjukkan, sebagian masker sekali pakai tidak efektif menyaring polutan. Sebanyak 10 persen polutan, terutama yang berukuran sangat kecil, tidak dapat disaring oleh masker biasa.
Masker medis atau yang berjenis N95 disebut lebih efektif menyaring partikel halus. Studi menyatakan, hanya 5 persen partikel saja yang tidak dapat disaring masker ini.
Efektivitas masker ini akan berkurang pada partikel berukuran lebih kecil dari 0,3 mikron. Untuk diketahui, ukuran bakteri lebih besar dari 0,3 mikron, tapi virus dan beberapa polutan akibat kendaraan lebih kecil dari 0,3 mikron.
Menurut Wiendra, masker N95 hanya direkomendasikan untuk petugas kesehatan mengingat banyaknya virus dan bakteri yang ada di kawasan rumah sakit. Mereka juga berinteraksi setiap hari dengan orang yang sakit.
“Yang masker N95 itu tujuan penggunaannya lebih untuk petugas kesehatan,” ucap Wiendra.
Dua dari tiga penelitian eksperimental di China juga menunjukkan, orang yang menggunakan masker N95 sambil berjalan di pusat kota Beijing, memiliki tekanan darah lebih rendah daripada saat tidak memakai masker. Pada orang sakit, aliran darah dan pengiriman oksigen ke jantung lebih baik saat memakai masker N95.
Studi ini menyimpulkan, memakai masker N95 dapat mengurangi efek paparan jangka pendek pada jantung dan pembuluh darah dari polusi udara perkotaan.
Apapun jenisnya, masker tetap berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan penyakit. Ahli paru, dr Fathiyah Isbaniah menjelaskan, masker mesti digunakan oleh orang yang sakit agar tidak menularkan penyakitnya.
“Orang yang lagi sakit harus pakai masker dan segera menutup hidung dan mulut dengan sapu tangan saat bersin atau batuk agar tidak menularkan penyakitnya. Ini etika batuk,” kata Fathiyah.
Jika Anda tidak sedang memakai masker namun berada di sekitar orang sakit, dianjurkan untuk berdiri sekitar dua meter untuk menurunkan risiko penularan. Penelitian mendapati, udara di sekitar orang sakit, bahkan jika mereka tidak sedang batuk atau bersin, sarat dengan partikel aerosol kecil yang dapat menular.
Sumber : CNN [dot] COM