Sebanyak empat pria, termasuk seorang warga negara Indonesia, ditangkap kepolisian Malaysia pada awal Mei atas tuduhan berencana melancarkan teror di Kuala Lumpur pada pekan pertama Ramadan.
Keempat pria itu, menurut kepolisian Malaysia, merupakan simpatisan kelompok yang menamakan diri Negara Islam atau ISIS dan menjadi bagian dari kelompok “wolf pack” (gerombolan serigala) di bawah ISIS.
Kepada BBC News Indonesia, Kepala Divisi Kontraterorisme Malaysia, Datuk Ayob Khan Mydin Pitchay, mengatakan pihaknya telah memantau gerombolan itu sejak Desember tahun lalu.
Dia tidak bersedia memaparkan metode pemantauan secara rinci. Yang jelas, menurutnya, “media sosial adalah salah satu kaidah dan satu lagi yang kita gunakan adalah pengumpulan intelijen”.
Melalui media sosial pula, keempat pria itu mengalami radikalisasi.
“Kebanyakan melalui media sosial. Banyak berbagi artikel-artikel berkaitan dengan ideologi. Mereka berkongsi dengan anggota Daesh (ISIS) dari Indonesia dan anggota Daesh dari Malaysia,” kata Ayob kepada wartawan BBC News Indonesia, Jerome Wirawan.
Informasi tersebut diakuinya sudah dibagikan ke kepolisian Indonesia.
“Hubungan kita dengan Polri amat mantap, amat rapat. Kita sudah menyebarkan informasi ke Polri,” ujarnya.
‘TKI yang mengaku ingin ke Suriah’
Sebelumnya, dalam keterangan kepada pers pada Senin (13/05), Kepala Kepolisian Malaysia, Abdul Hamid Bador, mengatakan keempat tersangka terdiri dari seorang warga negara Malaysia, yang oleh polisi diduga sebagai pemimpin komplotan; seorang warga negara Indonesia berinisial FT dan berusia 49 tahun; serta dua pengungsi Rohingya dari Negara Bagian Rakhine di Myanmar.
Abdul Hamid Bador mengatakan dalam pemeriksaan FT, tenaga kerja asal Indonesia itu mengaku mempunyai rencana untuk pergi ke Suriah.
Kepastian apakah FT merupakan seorang WNI akan dipastikan oleh Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur.
“KBRI Kuala Lumpur telah meminta akses kekonsuleran kepada PDRM utk memverifikasi dokumen dan kewarganegaraan FT,” kata Lalu Muhammad Iqbal selaku direktur perlindungan WNI Kemlu RI melalui pesan singkat.
FT, kata Kepala Divisi Kontraterorisme Malaysia, Datuk Ayob Khan Mydin Pitchay, adalah seorang pekerja pabrik seng untuk atap di Subang Jaya, Selangor.
‘Bertempur di Rakhine’
Salah seorang pengungsi Rohingya mengaku sebagai pendukung Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA) dan berniat melancarkan serangan terhadap Kedutaan Myanmar di Kuala Lumpur, selain hendak bertempur di Rakhine.
Rencana mereka, lanjut Abdul Hamid Bador, hendak dilancarkan sebagai “balas dendam” atas kematian anggota pemadam kebakaran Mohamad Adib Mohd Kassim setelah mengalami luka dalam kerusuhan di Kuil Seafield Sri Maha Mariamman.
Menurut kepala kepolisian yang baru menjabat itu, keempat terduga teroris berencana menyerang tempat ibadah Kristen, Hindu dan Buddha dan tempat hiburan di Kuala Lumpur.
Mereka juga disebut berniat membunuh beberapa individu “terkenal” yang dianggap tidak memperjuangkan Islam.
Namun dia menolak merinci sosok-sosok yang disebut masuk ke dalam daftar sasaran serangan kelompok “wolf pack”.
“Terlalu sensitif untuk saya beberkan,” kata Abdul Hamid Bador.
Selain keempat laki-laki tersebut, kepolisian Malaysia masih memburu tiga orang lainnya yang disebut bagian dari kelompok “wolf pack”.
Senjata dari negara tetangga
Keempat orang ditangkap pada waktu berbeda di lokasi yang berbeda-beda pula.
“Penangkapan (pertama) juga disertai dengan penyitaan sepucuk pistol jenis CZ 9mm, 15 butir peluru dan enam bom molotov yang masing-masing mempunyai panjang kira-kira 18 cm.
“Itu diperoleh dari negara tetangga dan akan digunakan dalam operasi pembunuhan dan serangan ke tempat ibadat bukan Islam serta pusat hiburan,” jelas Kepala Kepolisian Malaysia, Abdul Hamid Bador.
Secara terpisah, Kepala Divisi Kontraterorisme Malaysia, Datuk Ayob Khan Mydin Pitchay, menolak menjelaskan dari negara mana senjata tersebut diperoleh keempat pria tersebut.
“Saya tidak bisa berbagi informasi itu. Malaysia banyak bersepadan dengan negara-negara jiran,” kata Ayob.
Dari Indonesia? “Bukan, bukan dari Indonesia,” cetusnya.
Ayob menambahkan, dana untuk membeli senjata dan keperluan logistik didapatkan keempat pria itu dari kocek masing-masing.
“Mereka mengumpulkan dana sendiri, keuangan sendiri. Sebab sepucuk pistol bukan mahal, RM3.000 sudah boleh dapat sepucuk pistol di Malaysia,” kata Ayob.
Kini, lanjutnya, aparat Malaysia sedang melengkapi berkas-berkas kasus mengingat mereka mempunyai 25 hari sejak penangkapan.
“Kemudian kita ajukan dokumen investigasi ke kejaksaan. Sekiranya cukup bukti mereka akan diadili di pengadilan. Mungkin akhir bulan, dua minggu lagi (mereka diadili),” paparnya.
Sebelumnya kepolisian Malaysia juga melakukan penangkapan terhadap warga negara Indonesia di negara itu dalam kasus-kasus yang terkait dengan terorisme.
Salah seorang di antaranya, Mohd Al-Arsyi bin Mus Budiono, dijatuhi hukuman penjara selama 18 bulan pada Oktober lalu. Sebagian lainnya telah dipulangkan ke Indonesia.