AS Perintahkan Staf Kedutaan Tinggalkan Irak Di Tengah Ketegangan dengan Iran

0
721

Departemen Luar Negeri AS telah memerintahkan semua staf mereka di kedutaan di Baghdad dan konsulat di Erbil untuk pulang ke AS, di tengah meningkatnya ketegangan antara AS dengan Iran, negara tetangga Irak.

Kecuali mereka yang benar-benar diperlukan untuk kepentingan darurat, semua staf harus meninggalkan Irak secepat mungkin dengan penerbangan komersial.

Sementara itu, tentara Jerman dan Belanda telah menangguhkan operasi latihan militer bersama di Irak karena ketegangan di kawasan ini.

Militer AS mengatakan pada Selasa bahwa tingkat ancaman di Timur Tengah meningkat setelah ada laporan intelijen tentang pasukan yang didukung Iran di wilayah tersebut.

Sikap yang ditunjukkan pemerintah AS ini bertentangan pernyataan seorang perwira Inggris yang mengatakan “tidak ada ancaman yang meningkat”.

Chris Ghika, wakil komandan pasukan koalisi global dalam memerangi kelompok Negara Islam atau ISIS, mengatakan kepada wartawan bahwa upaya yang dilakukan untuk melindungi pasukan AS dan sekutunya dari ancaman milisi yang didukung Iran di Irak dan Suriah “sepenuhnya memuaskan”.

Sementara itu, Presiden Donald Trump dalam cuitan Twitternya menepis isu adanya pertikaian di Gedung Putih perihal “kebijakan kuat di Timur Tengah”, dengan menambahkan: “Saya yakin Iran menginginkan adanya pembicaraan secepatnya.”

Mengapa staf AS harus dipulangkan?

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengatakan: “Memastikan keselamatan personil dan warga negara AS adalah prioritas utama kami dan kami yakin dengan (kemampuan) kemampunan pasukan keamanan Irak untuk melindungi kami.”

Namun demikian, “Ancaman ini serius dan kami ingin mengurangi risiko bahaya.”

Komando Pusat militer AS juga berbicara tentang “adanya ancaman yang sudah teridentifikasi seperti yang dilaporkan intelijen AS dan sekutunya”. Pernyataan ini disampaikan secara terbuka sekaligus membantah pernyataan Jenderal Ghika.

Kementerian Pertahanan Inggris menekankan bahwa “satu-satunya fokus” Jenderal Ghika adalah menitikberatkan kepada kemampuan kelompok ISIS yang mampu bertahan, walaupun kelompok itu telah mengalami kekalahan.

Dijelaskan pula ada sejumlah ancaman terhadap pasukan koalisi di kawasan tersebut yang membutuhkan langkah-langkah perlindungan yang sangat kuat.

Sementara itu, Kementerian Pertahanan Jerman mengatakan pada Rabu bahwa mereka telah menangguhkan program pelatihan militernya di Irak.

Juru bicara Kemenhan Jerman mengatakan mereka telah menerima indikasi potensi serangan yang didukung Iran, tetapi tidak ada ancaman khusus terhadap 160 tentara Jerman yang terlibat dalam operasi pelatihan.

Adapun Kementerian pertahanan Belanda mengatakan militer Belanda juga menangguhkan misi pelatihannya, karena ancaman yang tidak ditentukan, seperti dilaporkan media setempat.

Apa yang kita ketahui tentang tuduhan adanya ancaman?

Kantor berita Reuters mengutip sumber-sumber keamanan Irak yang mengatakan bahwa selama kunjungan ke Irak awal bulan ini, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengungkap kepada komandan Irak tentang laporan intelijen terkait kelompok paramiliter yang didukung Iran.

Kelompok itu disebut telah menempatkan roket di dekat beberapa pangkalan yang menampung pasukan AS.

“Pesan dari AS jelas. Mereka menginginkan jaminan bahwa Irak akan menghentikan aksi kelompok-kelompok yang mengancam kepentingan AS,” kata salah seorang sumber.

“Mereka mengatakan jika AS diserang di Irak, mereka akan mengambil tindakan demi mempertahankan diri tanpa berkoordinasi dengan Baghdad.”

Perdana Menteri Irak, Adel Abdul Mahdi, mengatakan pada Selasa bahwa aparat keamanannya tidak mengamati adanya “gerakan-gerakan yang merupakan ancaman bagi pihak mana pun”.

Kelompok-kelompok paramiliter yang terlatih, dipersenjatai Iran telah memainkan peran penting dalam pertempuran melawan kelompok militan ISIS di Irak. Mereka secara resmi dimasukkan dalam pasukan keamanan Irak tahun lalu, tetapi terus beroperasi secara semi-independen.

Juru bicara dua kelompok dari pasukan para-militer itu mengatakan kepada Reuters bahwa tuduhan adanya ancaman terhadap pasukan AS merupakan “perang psikologis” oleh Washington.

Mengapa ketegangan AS-Iran meningkat?

Dilaporkan pula pada Selasa bahwa penyelidik AS meyakini bahwa Iran atau kelompok-kelompok yang didukungnya telah menggunakan bahan peledak untuk merusak empat kapal tanker di lepas pantai Uni Emirat Arab pada Minggu.

Lubang besar ditemukan menganga di lambung kapal tanker, tetapi tidak ada bukti yang diumumkan yang menunjukkan adanya kaitan ke Iran.

Sementara itu Arab Saudi mengatakan bahwa serangan pesawat tak berawak pada dua stasiun pompa minyak oleh kelompok pemberontak Houthi, Yaman, yang didukung oleh Iran, telah memaksa negara kerajaan itu untuk sementara waktu menutup saluran pipa Timur-Barat.

Namun, saat berbicara kepada BBC, salah seorang pemimpin pemberontak, Mohammed Ali al-Houthi, membantah bahwa mereka bertindak atas nama Iran, dan sebaliknya menyatakan itu sebagai pertahanan diri atas serangan yang dipimpin Saudi.

Awal bulan ini, AS telah mengirim kapal induk dan pesawat pembom B-52 ke Teluk.

Ini bukan kali pertama adanya peringatan dari Washington yang menyebut adanya penguatan kekuatan militer, berdasarkan apa yang digambarkan Pompeo sebagai “eskalasi” terkait aktivitas Iran.

Bagaimanapun, ketegangan ini terjadi setelah AS secara sepihak membatalkan pembebasan sanksi bagi negara-negara yang mengimpor minyak dari Iran.

Presiden Trump menerapkan kembali sanksi tahun lalu setelah membatallkan kesepakatan perundingan nuklir antara Iran dan enam negara besar.

Iran bertekad untuk mengatasi sanksi AS itu, tetapi ekonomi negara itu runtuh dalam jurang resesi yang dalam dan nilai mata uangnya telah anjlok.