Thailand Pelajari Penanganan Konflik Aceh: Satu Hal yang Sangat Bisa Dilakukan Indonesia, Kata Pengamat

0
697

Indonesia disebut sangat bisa berperan sebagai penengah dalam penyelesaian konflik di Thailand selatan, kawasan dengan penduduk mayoritas Muslim.

Pengamat Thailand selatan dari dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI, Awani Irewati, mengatakan Indonesia dapat berperan karena memiliki rekam jejak baik dalam perdamaian di Aceh dan membantu krisis kemanusiaan Rohingya di Myanmar.

Konflik berdarah di Provinsi Yala, Pattani, Narathiwat, Thailand selatan merenggut ribuan orang sejak konflik pecah pada 2004 hingga sekarang.

Serangan bersenjata antara aparat dengan kelompok yang disebut pemerintah Thailand sebagai separatis itu masih terus terjadi.

Pada November tahun lalu misalnya, 15 orang tewas di Provinsi Yala.

Kepala staff Angkatan Darat Kerajaan Thailand, Jenderal Apirat Kongsompong, mengaku heran kenapa konflik di negaranya itu tak kunjung selesai.

Padahal kata dia, komunitas Muslim Melayu diberi kebebasan sesuai keyakinan mereka.

“Mereka juga punya kebebasan memilih pemimpin sendiri. Sebab mereka warga Thailand yang berada di bawah konstitusi kami,” ujar Apirat ketika berkunjung ke Kodam Iskandar Muda, Aceh, Selasa (14/01).

Karena itulah dalam kunjungannya ke Aceh, Apirat menyatakan ingin belajar bagaimana tanah yang sering disebut Serambi Mekkah ini bisa mencapai perdamaian setelah 30 tahun konflik dengan militer Indonesia.

“Kami ingin belajar dari Aceh, bagaimana Aceh menjadi provinsi yang damai sekarang setelah 30 tahun berkonflik dan dihantam tsunami. Saya melihat sendiri, warga Aceh tampak bahagia dan menghargai satu sama lain. Jadi apa yang membuat damai?” sambungnya.

Apa yang terjadi pada komunitas Muslim Melayu Pattani?

Pengamat Thailand Selatan dari LIPI, Awani Irewati, mengatakan konflik berdarah di tiga provinsi itu tidak akan selesai selama pemerintah Thailand menerapkan pendekatan militer.

Yang diperlukan, katanya, pendekatan secara dialog.

“Dari kelompok akademisi sebetulnya pernah memberikan jalan tengah yaitu mediasi atau mendekati tokoh masyarakat di Thailand selatan. Kalau pendekatan itu, bisa menjadi jalan keluar. Tidak hanya militer,” ujar Awani Irewati kepada BBC News Indonesia, Rabu (15/01).

Ia juga menilai sikap pemerintah Thailand yang memaksa komunitas yang menyebut dirinya Pattani ini untuk menggunakan bahasa Thailand, tidaklah tepat.

Hal itu ia ketahui ketika melakukan penelitian di sana pada 2015.

“Kalau di sana bahasanya Jawi, kayak huruf Arab gundul. Jadi kalau dipaksakan, tidak bisa,” imbuhnya.

“Kurikulum pendidikan di sana juga dipaksa untuk mengikuti budaya Thailand.”

Oleh karena segala pemaksaan dan pendekatan militer itu, konflik takkan usai.

Mereka, menurut Awani, akan tetap menuntut berpisah dari Thailand karena merujuk pada sejarah, wilayah itu merupakan Kesultanan Pattani.

Tapi sejak 1902 berada di bawah pengelolaan pemerintah Thailand.

“Mereka maunya menjadi negara sendiri. Tapi oleh pemerintah Thailand tidak dibolehkan.”

Setidaknya terdapat dua juta Muslim Melayu Pattani tinggal di Provinsi Yala, Pattani, Narathiwat,

Bisakah mengadopsi perdamaian Aceh?

Panglima Angkatan Darat Kerajaan Thailand, Jenderal Apirat Kongsompong, mengatakan komunitas Muslim Melayu Pattani memiliki kesamaan dengan masyarakat Aceh dari segi agama dan budaya.

Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal TNI Andika Perkasa, mengatakan jendral Apirat juga bertemu dengan tokoh lain di Aceh untuk mempelajari penanganan konflik.

“Dia (Jenderal Apirat Kongsompong) juga ketemu dengan Wali Nangroe Aceh dalam konteks ingin berbagi ada yang berguna diterapkan di Thailand,” ujarnya di Kodam Iskandar Muda, Aceh.

Dalam pengamatan Awani Irewati, Indonesia sangat bisa berperan sebagai penengah dalam penyelesaian konflik antara militer Thailand dengan komunitas Muslim Melayu Pattani.

Ini karena Indonesia memiliki rekam jejak baik dalam perdamaian di Aceh dan membantu krisis kemanusiaan Rohingya di Myanmar.

Hal lain adalah karena Thailand tak punya prasangka apapun pada Indonesia, berbeda dengan Malaysia yang pernah dituding menyuplai senjata untuk kelompok tersebut, kata Awani.

“Seperti Rohingya, Indonesia kan melakukan pendepatan terus. Di Thailand selatan saya kira bisa dan harus dilakukan,” ucapnya.

“Indonesia juga bisa mengajak Thailand berdialog dan setidaknya dalam forum-forum ASEAN ada kesempatan untuk membicarakan masalah-masalah di seputar negara ASEAN.”

“Karena Indonesia sangat didengar.”

Kendati demikian, Kementerian Luar Negeri mengatakan belum ada keterlibatan Indonesia secara resmi dalam membantu penyelesaian konflik di Thailand selatan.

Kaitan antara militan di Aceh dan Thailand selatan

Sejumlah laporan menyebutkan adanya kaitan antara militan di Aceh dan pemberontak di pedalaman Thailand selatan. Hal itu terungkap sejak perampokan senjata dari gudang militer Thailand pada 2004.

Anggota gerakan separatis di Aceh saat itu dilaporkan terlibat dalam serangan tersebut dan merebut sejumlah senjata untuk operasi mereka sendiri.

Senjata lainnya disimpan oleh pemberontak di Thailand selatan.

Sejumlah laporan lain menyebutkan anggota gerakan separatis di Aceh mengirimkan instruktur untuk melatih kelompok, Pemuda, di madrasah Thailand selatan.

Sebagian pengikut yang ditahan saat itu mengakui mereka dilatih oleh pakar dari luar negeri namun tidak mengetahui asal mereka karena wajah mereka ditutup.

Mereka yang terlibat dalam perampokan senjata juga mengklaim adalah anggota kelompok separatis Runda Kamputan Kecil.

Kepala staf angkatan darat saat itu, Sonthi Boonyaratglin, terbang ke Jakarta untuk bekerja sama menyelidiki masalah itu. Namun tidak ada kemajuan.