Presiden Iran mengatakan bahwa Amerika Serikat telah mengalami kekalahan yang memalukan setelah Dewan Keamanan PBB menolak memperpanjang embargo senjata Teheran, sementara Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menyebut tindakan PBB itu sebagai “kesalahan serius.”
Presiden Trump juga telah mengancam akan memaksakan penerapan sanksi PBB kembali, dengan menggunakan teknik yang disebut snapback.
Dalam pemungutan suara Dewan Keamanan PBB pada hari Jumat (14/08), terkait upaya AS untuk memperpanjang embargo senjata PBB terhadap Iran, hanya ada satu negara yang mendukung rencana AS, yakni Republik Dominika.
Iran, Rusia dan China memberikan suara menentang, sementara 11 anggota abstain termasuk Prancis, Jerman, Inggris, juga Indonesia.
“Saya tidak ingat Amerika Serikat mempersiapkan resolusi selama berbulan-bulan untuk menyerang Republik Islam Iran, dan hanya mendapatkan satu suara,” kata Presiden Iran Hassan Rouhani dalam pidato yang disiarkan di televisi, dan diberitakan Reuters.
“Tapi kesukesan besar adalah bahwa Amerika Serikat mengalami kekalahan yang memalukan dalam konspirasi ini.”
Kapan embargo senjata terjadap Iran berakhir?
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa memberlakukan embargo senjata terhadap Iran pada tahun 2007.
Embargo akan berakhir pada pertengahan Oktober, sebagaimana disepakati dalam kesepakatan nuklir 2015 antara Iran, Rusia, China, Jerman, Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat yang mencegah Teheran mengembangkan senjata nuklir dengan imbalan keringanan sanksi ekonomi.
Kesepakatan itu tertuang dalam resolusi Dewan Keamanan 2015.
Kesepakatan tersebut membatasi program pengayaan uranium Iran, yang digunakan untuk membuat bahan bakar reaktor tapi dapat juga digunakan sebagai senjata nuklir.
Kesepakatan tersebut juga mengharuskan Iran untuk merancang ulang reaktor yang tengah mereka bangun, yang dapat menghasilkan plutonium yang cocok untuk pembuatan bom, sekaligus menuntut Iran untuk membuka pintu bagi inspeksi internasional.
Pada 2018, Presiden AS Donald Trump keluar dari kesepakatan yang dicapai di bawah presiden AS sebelumnya, Barack Obama. Trump menyebut kesepakatan itu “kesepakatan terburuk yang pernah ada.”
Menlu AS Mike Pompeo menanggapi putusan Dewan Keamanan PBB.
“Ini adalah kesalahan serius, kami menyesalinya,” kata Pompeo pada hari Sabtu dalam konferensi persnya selama kunjungan ke Polandia.
AS dapat menindaklanjuti langkahnya untuk memicu kembali semua sanksi PBB terhadap Iran dengan menggunakan ketentuan dalam perjanjian nuklir, yang dikenal dengan istilah snapback.
Para diplomat mengatakan Amerika Serikat dapat melakukan ini paling cepat minggu depan, tetapi langkah itu disebut dapat menemui hambatan yang sulit.
Menteri Luar Negeri Israel Gabi Ashkenazi mengatakan keputusan Dewan Keamanan untuk tidak memperpanjang embargo senjata di Iran akan menyebabkan ketidakstabilan Timur Tengah lebih lanjut.
“Rezim ekstremis di Iran tidak hanya mendanai terorisme: tapi juga mengambil bagian aktif dalam terorisme melalui cabang-cabangnya di seluruh dunia dan menggunakannya sebagai alat politik. Perilaku ini membahayakan stabilitas regional dan internasional,” kata Ashkenazi dalam sebuah pernyataan, Sabtu.
Mengapa Indonesia abstain?
Menurut Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kementerian Luar Negeri RI Grata Endah Werdaningtyas, Indonesia mengambil posisi abstain karena menilai rancangan resolusi yang diajukan AS tidak sejalan dengan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau dikenal dengan kesepakatan nuklir Iran.
Rancangan itu juga, menurut Indonesia, tidak akan efektif mengatasi masalah nonproliferasi serta isu stabilitas keamanan di Kawasan Teluk.
“Bagi Indonesia, implementasi Resolusi DK PBB 2231 dan JCPOA secara menyeluruh merupakan satu-satunya cara yang efektif dalam memastikan program nuklir Iran hanya untuk tujuan damai,” kata Grata seperti dilaporkan Antara.
Maka itu, Indonesia meminta Iran dan seluruh negara pihak lainnya pada JCPOA untuk menjalankan komitmennya secara penuh dan efektif.
Indonesia juga menyesalkan langkah AS untuk keluar dari kesepakatan tersebut.
“Indonesia mendorong agar negara pihak pada JCPOA dapat menyelesaikan isu kepatuhan implementasi melalui mekanisme yang telah diatur dalam kesepakatan dimaksud, dalam hal ini melalui Dispute Resolution Mechanism (DRM),” ujar Grata.