Swiss pada Minggu (7/3) menggelar referendum terkait perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia. Namun, perjanjian itu, yang membuka pasar besar yang potensial, bisa tergelincir karena isu impor minyak kelapa sawit.
Di bawah perjanjian itu, tarif-tarif akan dihapus secara bertahap dari hampir semua ekspor terbesar Swiss ke negara terpadat keempat di dunia itu. Sementara Swiss akan menghapus bea atas produk-produk industri Indonesia.
Siapapun yang mengimpor minyak kelapa sawit Indonesia harus bisa membuktikan bahwa produk itu telah memenuhi standar-standar lingkungan dan sosial.
Namun, kontroversi seputar minyak kelapa sawit berkelanjutan menimbulkan kekhawatiran di Swiss hingga memicu diadakannya referendum.
Dua jajak pendapat terpisah pada Februari memperlihatkan dukungan sebanyak 52 persen. Yang menentang jumlahnya 41 persen hingga 42 persen.
Perjanjian itu ditandatangani pada 2018 dan disetujui oleh parlemen Swiss pada 2019. Namun, para penentangnya mengkritisi langkah Swiss untuk mengurangi tarif impor minyak kelapa sawit.
Perjanjian itu mengandung pengecualian bagi produk-produk pertanian, khususnya untuk melindungi produksi minyak bunga matahari dan minyak rapa (rapeseed oil).
Untuk minyak kelapa sawit, tarif-tarif impor tidak akan dihapus, tapi dikurangi antara 20 persen hingga 40 persen. Pengurangan ini hanya akan diberikan untuk volume terbatas, yaitu maksimal 12.500 ton per tahun dan para importir harus membuktikan bahwa minyak kelapa sawit itu diproduksi dengan cara yang berkelanjutan.