Thailand akan mencampurkan vaksin Sinovac dengan AstraZeneca dalam program vaksinasinya sebagai upaya meningkatkan proteksi dari virus corona.
Keputusan ini dibuat setelah ratusan tenaga kesehatan tertular Covid meskipun sudah mendapat dosis penuh vaksin Sinovac.
Alih-alih dua dosis Sinovac, warga Thailand sekarang akan mendapat vaksin AstraZeneca setelah dosis pertama Sinovac, ungkap Menteri Kesehatan Anutin Charnvirakul.
“Jarak pemberian kedua vaksin itu sekitar tiga hingga empat pekan,” lanjutnya seperti dikutip stasiun televisi Channel News Asia (12/7).
Para tenaga kesehatan yang sudah mendapat Sinovac dosis penuh juga akan menerima dosis ketiga vaksin lain sebagai booster.
Vaksin lain itu bisa vaksin AstraZeneca, atau vaksin mRNA seperti Pfizer/BioNTech. Dosis ketiga akan diberikan tiga sampai empat minggu setelah mereka mendapatkan dosis kedua Sinovac, kata Komite Penyakit Menular Nasional Thailand pada Senin (12/7).
Otoritas kesehatan Thailand yakin kombinasi dua vaksin Covid itu akan meningkatkan kekebalan kolektif atas virus corona, terutama varian Delta yang sangat menular, yang kali pertama dideteksi di India.
“Ini diyakini akan memberi perlindungan lebih baik terhadap varian Delta karena kekebalan akan meningkat dengan cepat, mendekati level yang diberikan oleh dua dosis AstraZeneca. Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan imunitas dengan cara seperti ini akan lebih singkat,” kata Dr Opas Kankawinpong, direktur jenderal dari Departemen Pengedalian Penyakit, seperti yang dikutip Channel News Asia (12/7).
Setelah mendapat dosis pertama AstraZeneca, lanjut Opas, biasanya butuh sekitar 12 pekan untuk menerima dosis kedua dari vaksin yang sama. Namun, menurut dia, memadukan vaksin itu dengan Sinovac bisa membuat waktu jeda vaksinasi bisa lebih singkat, yaitu tiga hingga empat pekan.
AstraZeneca saat ini merupakan satu-satunya vaksin selain Sinovac yang tersedia di Thailand, dengan sejumlah dosis Pfizer/BioNTech sumbangan dari AS dijadwalkan tiba tak lama lagi.
Thailand pertama kali menerima vaksin Sinovac dari China dan mulai mengimunisasi para tenaga kesehatannya pada Februari lalu.
Pada Minggu (11/07), menteri kesehatan mengatakan bahwa di antara lebih dari 677.000 tenaga kesehatan yang telah disuntik Sinovac dosis penuh, 618 orang tertular Covid antara bulan April dan Juli. Seorang perawat meninggal dan seorang staf medis masih dalam kondisi kritis.
Thailand tengah mengalami lonjakan infeksi baru, melaporkan pertambahan kasus sebanyak 9.418 pada Minggu (11/07) yang merupakan rekor baru. Angka kematian pada hari sebelumnya mencapai 91 orang, juga rekor baru.
Kekhawatiran tentang kemanjuran vaksin Sinovac dari China di tengah lonjakan kasus telah mendorong lonjakan permintaan untuk vaksin lain yang ditawarkan oleh beberapa klinik swasta.
Pekan lalu, satu klinik yang menjual vaksin Moderna dari AS di sebuah lapak daring menyaksikan barangnya terjual hanya dalam beberapa menit. Rumah Sakit Phyathai menawarkan 1.800 jatah vaksinasi untuk satu dosis Moderna dengan harga 1.650 baht (Rp732.000) lewat Shopee.
Thailan telah mencatat lebih dari 345.000 kasus terkonfirmasi Covid-19 dan hampir 2.800 kematian sejak awal pandemi pada 2020, menurut catatan John Hopkins University yang melacak perkembangan kasus Covid-19 di seluruh dunia.
Ada kekhawatiran bahwa lonjakan kasus di banyak negara Asia Tenggara disebabkan oleh varian Delta yang lebih mudah menular, pertama kali ditemukan di India.
Sinovac sudah disetujui WHO
Sebelumnya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya menyetujui vaksin Covid asal China, Sinovac, untuk penggunaan darurat.
Ini merupakan vaksin kedua buatan China yang mendapat persetujuan dari WHO, setelah Sinopharm.
Lampu hijau dari WHO ini juga membuka jalan bagi Sinovac untuk digunakan dalam Covax—program vaksinasi yang bertujuan menjamin akses vaksin berkeadilan di seluruh dunia.
Sinovac sudah digunakan di beberapa negara, termasuk Indonesia, dan direkomendasikan untuk warga berusia 18 tahun ke atas untuk dua dosis dengan masa jeda dua hingga empat pekan.
Persetujuan penggunaan darurat ini berarti vaksin itu sudah “memenuhi standar internasional atas keamanan, efikasi, dan pembuatannya,” ungkap WHO.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa vaksin Sinovac mencegah penyakit simtomatik pada lebih dari setengah mereka yang sudah divaksin sekaligus mencegah munculnya gejala berat maupun yang rawat inap pada 100% dari mereka yang telah diteliti, lanjut WHO.
Mengapa Sinovac cocok untuk negara berkembang?
Sinovac menyatakan telah memasok lebih dari 600 juta dosis di dalam dan luar negeri hingga akhir Mei 2021. Lebih dari 430 juta dosis sudah digunakan di penjuru dunia.
Salah satu keuntungan vaksin Sinovac adalah bisa disimpan di lemari pendingin standar dengan suhu 2-8 derajat celcius. Ini berarti Sinovac jauh lebih berguna bagi negara-negara berkembang yang rata-rata tidak punya fasilitas untuk menyimpan banyak vaksin dengan suhu yang sangat dingin.
Persetujuan atas Sinovac untuk penggunaan darurat itu muncul saat WHO, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan Dana Moneter Internasional (IMF) serta Bank Dunia meminta bantuan dana investasi sebesar US$50 miliar untuk mendukung upaya mengakhiri pandemi.
Dalam pernyataan bersama, mereka mengatakan bahwa dunia telah mencapai titik yang berbahaya, bahwa ketimpangan akses mendapatkan vaksin berisiko membuat pandemi jadi berkepanjangan dan terus menimbulkan banyak korban jiwa.
Lembaga-lembaga dunia itu pun menyerukan investasi di sejumlah bidang, seperti produksi vaksin, persediaan oksigen, dan perawatan atas pasien Covid, dan distribusinya harus berlangsung adil.
Mereka juga menyerukan negara-negara maju untuk segera menyumbang dosis-dosis vaksin kepada negara-negara berkembang.
Bagaimana cara kerja vaksin Sinovac?
Dua vaksin asal China, Sinovac dan Sinopharm – yang juga telah disetujui WHO – berbeda dengan yang lain, terutama Pfizer dan Moderna.
Dikembangkan dengan cara yang lebih tradisional, suntikan itu menggunakan virus yang tidak aktif, yang berarti menggunakan partikel virus yang dimatikan untuk mengekspos sistem kekebalan tubuh tanpa mengambil risiko respons penyakit yang serius.
Sebagai perbandingan, BioNtech/Pfizer dan Moderna merupakan tipe vaksin mRNA. Ini berarti bagian dari kode genetik virus corona disuntikkan ke tubuh, melatih sistem kekebalan untuk meresponsnya.
Sedangkan AstraZeneca asal Inggris merupakan tipe vaksin yang berbeda, yaitu versi virus flu biasa dari simpanse dimodifikasi untuk mengandung materi genetik yang sama dengan virus corona. Setelah disuntikkan, vaksin itu mengajarkan sistem kekebalan tubuh bagaimana melawan virus yang sebenarnya.
BioNTech/Pfizer and Moderna memiliki tingkat efikasi sekitar 90% atau lebih, sedangkan AstraZeneca sekitar 76%.
April lalu, seorang pejabat pengendalian penyakit di China sempat mengatakan tingkat efikasi vaksin buatan negaranya rendah, walau akhirnya dia mengatakan bahwa komentarnya itu disalahrtikan.
Sumber : BBC [dot] COM