Dampak Kenaikan Kasus COVID-19, Sejumlah IGD Tutup Sementara dan Obat-obatan Mulai Langka

0
405

Banyak rumah sakit di kota-kota besar di Indonesia menutup sementara layanan instalasi gawat darurat (IGD), akibat melonjaknya jumlah pasien COVID-19 yang dirawat, termasuk di Surabaya. Sementara itu, sejumlah apotek kesulitan melayani pesanan obat karena kehabisan stok.

Belasan rumah sakit di Surabaya menutup sementara layanan berobat di instalasi gawat darurat, karena tidak mampu lagi menampung pasien baru. Jumlah kasus COVID-19 yang mencapai lebih dari 25.000 menjadikan sejumlah rumah sakit di Surabaya penuh dan tidak dapat lagi menampung pasien baru. Rumah Sakit Katolik St. Vincentius A Paulo (RKZ), contohnya, menutup sementara layanan IGD sejak 2 Juli 2021.Dokter Agung Kurniawan Saputra, Humas RKZ Surabaya, mengatakan IGD ditutup sementara khususnya untuk pasien COVID-19 karena tidak mencukupinya fasilitas layanan dan tidak memadainya jumlah tenaga medis yang tersedia. Bahkan, katanya, sejumlah tenaga kesehatan juga tertular COVID-19.

“Kapasitas IGD sudah tidak mencukupi lagi, bed-nya maupun sarana yang lainnya, juga sudah sangat tidak memungkinkan untuk menerima pasien yang baru, untuk pasien COVID, tetapi kami masih tetap berusaha untuk bisa menerima pasien-pasien yang memang non-COVID, yang bukan COVID, yang memang emergency dan membutuhkan pertolongan, walaupun slotnya atau ketersediaan bed pun juga sudah tersita cukup banyak untuk pasien-pasien yang COVID,” terang Agung Kurniawan.

Tutupnya belasan IGD rumah sakit di Surabaya, dibenarkan oleh Ketua Persatuan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Jawa Timur, dr Dodo Anondo. Selain karena tidak mampu menampung pasien, Dodo Anondo yang juga Direktur Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya, mengatakan, banyak tenaga kesehatan yang tertular COVID-19 sehingga perlu dilakukan pengaturan untuk menangani pasien.

“Kenapa? Karena satu, utamanya adalah pasiennya tumpah ruah di masing-masing rumah sakit, IGD-nya. Yang kedua, kenapa ditutup situasional, karena banyak tenaga kesehatannya yang terpapar. Walaupun ditutup tapi kalau ada yang penting, yang butuh pertolongan, ya tetap kita tolong, artinya tidak ditutup, stop, itu tidak,” ujar Dodo Anondo.

Dodo mengatakan, penutupan IGD ini akan ditindaklanjuti dengan merekrut sejumlah relawan untuk membantu menangani pasien. Selain itu juga dilakukan pengaturan sedemikian rupa sehingga ruang isolasi untuk merawat pasien COVID-19 dapat dipergunakan secara optimal.

“Dengan sistem, kalau saya katakan, seperti congklak, kalau orang Jawa bilang dakon. Jadi mana yang kosong kita isi, mana yang kosong kita isi di ruang isolasi khusus. Kemudian, kita cari relawan,” lanjutnya.

Meski kapasitas rumah sakit telah penuh dan sejumlah tenaga kesehatan tertular COVID-19, Agung Kurniawan mengaku pelayanan di rumah sakit RKZ Surabaya masih terkendali. Namun Agung berharap, rumah sakit darurat yang baru dibangun segera difungsikan untuk mengurangi beban rumah sakit-rumah sakit yang merawat pasien COVID-19.

Agung mengatakan, pemerintah perlu memperhatikan ketersediaan pasokan obat-obatan yang dibutuhkan untuk terapi penyembuhan pasien, serta ketersediaan alat penunjang lainnya termasuk tabung oksigen.

“Ketersediaan beberapa alat-alat penunjang untuk perawatan, salah satunya mungkin oksigen, memang karena jumlahnya meningkat secara drastis sehingga kebutuhan oksigen pun meningkat secara drastis juga. Dan kebutuhan obat-obatan lain untuk pengobatan-pengobatan COVID. Ya karena ketersediaan obat pun juga pasti akan mengalami hambatan, jangan sampai kehabisan stok atau mengalami hambatan dalam pelayanannya,” kata Agung.

Melonjaknya jumlah pasien COVID-19, menurut warga Surabaya, Rahardi Sukarno Junianto, merupakan situasi darurat yang perlu penanganan serius, dengan menambah rumah sakit-rumah sakit lapangan yang baru untuk mengurangi beban rumah sakit rujukan. Rahardi yang juga penyintas COVID-19, meminta masyarakat patuh menerapkan protokol kesehatan, agar tidak tertular dan menjadi beban rumah sakit. Pencegahan, kata Rahardi, merupakan cara efektif untuk menekan angka penambahan kasus positif COVID-19 dan angka kematian.

“Gara-gara kita, orang lain menjadi terpapar dan meninggal dunia, gara-gara kita OTG, gara-gara kita yang tidak tahu hasil swab kita yang positif karena kita tidak pernah testing, tidak pernah swab, tapi orang lain yang menjadi korban. Jadi logika itu yang harus dibalik, bukannya kita takut kita ketularan tapi kita takut yang menularkan ke orang lain,” ujar Rahardi.

Tidak hanya rumah sakit terbebani dengan meningkatnya jumlah pasien. Apotek-apotek di Surabaya dan daerah di sekitarnya juga mengalami kekosongan stok obat dan vitamin, karena diborong masyarakat. Dalam dua minggu terakhir, pembelian obat dan vitamin meningkat tajam. Sisilia Lie yang merupakan apoteker di pusat Kota Surabaya menuturkan.

“Seandainya orang cari (obat) A kosong, kami masih bisa memberi alternatif B, C. Kalau vitamin ya, tapi kalau yang obat-obat seperti antibiotik segala macam itu susah memang. Golongan antivirus itu yang kosong, dan kosong distributor memang, maksudnya masih dijanjikan, sudah gitu harganya melambung tinggi, tidak karu-karuan. Jadi, ya kami utamakan pasien yang ada resepnya (dokter). Karena kan memang sebetulnya obat-obatan itu kan obat-obat keras ya, kecuali vitamin-vitamin yang bebas,” kata Sisilia.

Hal senada juga diungkapkan Riki Rinjani, apoteker di Sidoarjo. Setiap kali obat dan vitamin yang dibutuhkan untuk pengobatan COVID-19 tersedia, stok tersebut langsung habis terjual. Riki berharap, pemerintah daerah melakukan intervensi pasar untuk mengendalikan kelangkaan dan kenaikan harga obat, serta produk kesehatan lainnya yang terkait terapi COVID-19. Selain itu, ia mengharapkan agar industri farmasi segera meningkatkan produksinya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Riki mengaku harus membatasi penjualan sejumlah produk obat-obatan, agar masyarakat yang benar-benar membutuhkan dapat memperolehnya. Ia juga melakukan penilaian terhadap masyarakat yang akan membeli obat, agar tidak terjadi aksi borong karena kepanikan автокредит без взноса онлайн заявка.

“Supaya mereka tidak pulang dengan tangan hampa biasanya saya assessment dulu, tidak semua yang mencari itu memang betul-betul karena mereka sakit, positif. Ada yang mencari itu cuma untuk jaga-jaga di rumah, sebagian besar seperti itu. Kalau yang untuk jaga-jaga di rumah saya beri edukasi, saya bilang yang penting maskernya. Kalau mau ya saya sodori vitamin. Vitamin juga beberapa brand itu sudah banyak yang kosong di pasaran,” tandas Riki.