Covid: Mengapa masih ada orang yang menyangkal pandemi maut itu?

0
941

Dengan meningkatnya jumlah kematian, penuhnya rumah sakit, dan kelangkaan oksigen, seharusnya sudah tak diragukan lagi bahwa Covid-19 nyata dan berbahaya.

Namun masih ada cukup banyak orang yang menolak Covid-19 atau mengabaikan risikonya. Mengapa demikian?

Sudah lama Nirahai dibuat resah oleh beberapa orang di grup WhatsApp alumni SMA-nya yang mempromosikan penolakan terhadap Covid-19. Satu orang yang tinggal di luar negeri terutama sangat vokal menyuarakan bahwa Covid-19 adalah “konspirasi” dan getol membagikan video serta artikel blog yang mendukung pandangannya.

Setiap kali dikonter dengan informasi yang resmi dan terpercaya, kata Nirahai, orang itu terdiam sebelum berkoar-koar lagi beberapa hari kemudian. Propagandanya telah memengaruhi beberapa orang dalam grup SMA Nirahai yang masih ragu-ragu.

Merasa kewalahan, Nirahai akhirnya menyerah untuk meyakinkan orang itu dan beberapa kawannya yang sudah terpengaruh. Sekarang, ia hanya fokus melindungi keluarga dan orang-orang terdekatnya dari penyakit mematikan itu.

“Sudah sampai geregetan, akhirnya saya begini ‘Ah ya sanalah terserah kalian, yang penting gue dan keluarga gue, dan siapa yang mau peduli menjalankan apa yang bisa kita lakukan’. Itu saja,” kata ibu rumah tangga berusia 61 tahun itu kepada BBC News Indonesia.

Sikap menolak Covid-19 atau meremehkan risikonya adalah bentuk penyangkalan atau denial. Sikap ini disinyalir sudah ada sejak awal pandemi pada tahun 2020 lalu.

Survei persepsi risiko yang dilakukan organisasi relawan Lapor Covid-19 bekerja sama dengan Social Resilience Lab Nanyang Technology University (NTU) di Jakarta dan Surabaya tahun lalu menemukan bahwa lebih dari 50% warga merasa yakin tidak akan tertular virus corona.

Belum ada survei serupa yang dilakukan tahun ini namun menurut Najmah Usman, pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya, penyangkalan sudah menjadi persepsi umum di masyarakat.

“Penyangkalan atau denial sudah menjadi persepsi yang diyakini secara berjemaah, tidak bergantung pada parah atau tidaknya kondisi Covid-19 sekarang ini,” kata Najmah.

Menurut Najmah, sikap denial adalah hasil akumulasi berbagai faktor seperti ekonomi, relijius, dan terutama ketidakjelasan penanganan Covid-19 baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Ini diperparah oleh misinformasi dan hoaks yang menyebar dengan mudah melalui media sosial.

Semua itu dapat membuat orang cenderung abai terhadap risiko penyakit ini dan tidak percaya atau takut pada otoritas kesehatan. Dalam beberapa situasi, ia bahkan berujung pada hilangnya nyawa.

ppkm

Seperti yang terjadi pada Helmi Indra, 34 tahun. Ayahnya meninggal dunia pada awal Juli lalu dalam keadaan positif Covid-19 setelah kondisinya memburuk dan dirawat di rumah sakit.

Helmi menceritakan, dalam rangkaian twitnya yang viral, bahwa sang ayah sempat menolak vaksinasi dan enggan dibawa ke rumah sakit karena “takut dicovidkan”.

Helmi mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa ayahnya percaya pandemi Covid-19 itu nyata, namun ia terpengaruh oleh misinformasi tentang vaksin dan anggapan bahwa banyak pasien Covid-19 meninggal bukan karena penyakitnya melainkan karena interaksi obat. Itu membuat pria berusia 60 tahun itu takut ke rumah sakit.

Helmi yakin bahwa hoaks berperan besar dalam kematian ayahnya. Menurut Helmi, sang ayah jarang mengecek kebenaran informasi yang tersebar lewat WhatsApp.

“Di minggu-minggu itu berita mengenai interaksi obat lagi kencang-kencangnya, tersebar ke grup-grup WA, itu jadi salah satu yang membuat takut … Akhirnya Papa hanya minum obat pereda nyeri aja untuk pusingnya dan tidak mengonsumsi semua obat yang direkomendasikan,” tuturnya.

Bibit keraguan

Najmah dan kolega melakukan studi kualitatif di Sumatera Selatan sepanjang tahun lalu untuk mengukur sikap masyarakat terhadap Covid. Mereka menemukan para partisipan cenderung tidak percaya pada Covid-19 atau ragu untuk percaya.

Dalam makalah yang diterbitkan di jurnal ilmiah Intersections: Gender and Sexuality in Asia and the Pacific April lalu, Najmah dan rekan menyimpulkan bahwa bibit dari sikap denial masyarakat adalah ketidakpercayaan pada pemerintah.

Seperti diketahui, pemerintah awalnya menyangkal keberadaan wabah ini, salah satunya dengan komentar termasyhur dari mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto bahwa “flu lebih berbahaya dari corona”.

Kemudian setelah kasus Covid-19 pertama ditemukan pada Maret 2020, pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar alias PSBB. Namun setelah memperpanjang PSBB beberapa kali, pemerintah mengajak masyarakat untuk hidup berdampingan dengan Covid-19 dan memperkenalkan kebijakan “new normal”.

Najmah dan kolega menyebut “new normal” sebagai bentuk propaganda penyangkalan Covid. “Itu menjadi alasan bagi pemerintah untuk berfokus pada pemulihan ekonomi dan mengecilkan potensi dampaknya dengan mempromosikan uji coba vaksin Covid-19,” tulis para peneliti.

Maksud ini kian terang seiring komando penanganan wabah beralih dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ke Komite Penanganan COVID-2019 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN), yang dikepalai Menko Perekonomian Airlangga Hartanto, dan sekarang berada di Kemenko Kemaritiman dan Investasi.

Pemerintah juga kerap memberikan pesan yang bertolak belakang satu sama lain. Pernyataan Menko Manves Luhut Pandjaitan yang bersikeras bahwa Covid terkendali, dan beberapa hari kemudian meminta maaf karena varian Delta tidak bisa dikendalikan adalah contoh terbaru.

Contoh lainnya adalah larangan mudik pada Idul Fitri, namun pada saat yang sama mendorong warga untuk liburan.

Umat Islam melaksanakan shalat Idul adha di Masjid Darul Ulum, Gedangan, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (20/7/2021).

Menurut Najmah, semua itu menciptakan ketidakpercayaan di antara masyarakat. Ketika masyarakat tidak percaya pada institusi dan informasi resmi, ia menjelaskan, mereka akan lebih mempercayai orang-orang sekitar mereka.

Pun ketika ada orang yang mereka kenal sakit atau meninggal dalam keadaan positif Covid, mereka cenderung mengaitkan kematiannya dengan penyakit bawaan.

“Masyarakat melihatnya [Covid] itu di berita saja ramainya. Di sekitar mereka aman-aman saja,” tutur Najmah.

Najmah dan kolega juga mendapati adanya persilangan antara kelas, agama, dan propaganda Covid denial. Mereka menemukan bahwa semakin relijius seseorang, semakin cenderung untuk tidak percaya pada Covid. Para peneliti berpendapat bahwa sikap tawakal (berserah diri kepada Tuhan) mengurangi upaya orang-orang untuk mengambil langkah pencegahan dalam kehidupan sehari-hari.

“Kita sering mendengar pendakwah-pendakwah ceramah bahwa kita perlu tawakal. Ada juga yang mengatakan tetap cuci tangan, tapi jangan terlalu khawatir karena kita tidak boleh bilang bahwa meninggal itu karena Covid tetapi karena ajal,” kata Najmah.

Menurut Najmah, pemerintah tidak punya pegangan yang dapat mengubah pola pikir masyarakat dari kepercayaan yang sudah dibangun dari moral agama. Tidak ada lagi tokoh agama yang dipercaya masyarakat karena banyak tokoh agama telah mendekat ke kekuasaan dan menjadi bagian pemerintah.

“Menariknya, berdasarkan pengamatan kami di lapangan, tidak ada yang mengkoordinir untuk melakukan Covid denial ini. Malah oposan-oposan pemerintah terbesar dari kalangan Muslim, PKS, menganjurkan untuk vaksin lewat dewan syuro mereka,” kata Najmah.

‘Mekanisme pelarian’

Pakar sosiologi bencana dari Nanyang Technological University, Profesor Sulfikar Amir, yang terlibat dalam survei persepsi masyarakat terhadap Covid di Indonesia, tidak sepenuhnya menyalahkan pemerintah.

Ia berpendapat bahwa pada dasarnya ada kondisi-kondisi sosial tertentu yang membuat masyarakat rentan dipengaruhi oleh informasi-informasi yang tidak benar.

Sulfikar menyoroti bahwa penyangkalan terhadap Covid tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.

Namun ketika ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa Covid itu nyata dan berbahaya, dengan peningkatan angka kematian, penuhnya rumah sakit dan pemakaman, serta kelangkaan oksigen, mengapa masih ada orang yang menyangkal bahaya Covid?

Salah satu kemungkinannya ialah karena penyangkalan berfungsi sebagai mekanisme pelarian atau coping mechanism. “Beberapa orang menyadari bahwa situasi sedang kritis namun memutuskan untuk tidak percaya demi menghindar dari kenyataan,” kata Prof. Sulfikar.

Warga mengenakan masker saat berjalan di dekat sebuah mural di Kota Ambon, Maluku, Rabu (7/7/2021).

“Informasi-informasi masuk ke masyarakat dengan mudah karena kemampuan masyarakat untuk mencerna informasi secara kritis itu sangat lemah, karena tidak adanya sumber informasi yang benar-benar valid yang dipegang oleh semua lapisan masyarakat.”

Dalam situasi krisis, hoaks dan teori konspirasi dapat menawarkan fakta alternatif yang lebih nyaman untuk diterima, Prof. Sulfikar menjelaskan. Namun mereka berdampak pada persepsi risiko, membuat orang menjadi lengah.

Menurut Prof. Sulfikar saat ini persepsi risiko masyarakat sudah lebih baik, setelah Covid menyebar luas dan banyak masyarakat yang mengenal orang-orang yang sakit parah atau meninggal karena penyakit itu. Namun demikian, selalu ada orang yang memutuskan untuk bersikap abai karena kondisi sosial-ekonomi dan psikologis.

‘Cara lain untuk mati’

Menurut Rizqi Amelia Zein, pakar psikologi kesehatan dari Universitas Airlangga, faktor lain yang dapat menjelaskan penyangkalan terhadap Covid adalah hasil World Value Survey pada 2020 yang menemukan bahwa populasi di Indonesia umumnya menganut nilai tradisional-survival.

Nilai tradisional menekankan pada pentingnya agama, hubungan orang tua dan anak, kepatuhan pada otoritas, dan nilai-nilai keluarga tradisional. Adapun nilai survival menekankan pada keamanan ekonomi dan fisik. Lawan dari nilai tradisional adalah sekuler-rasional sedangkan lawan nilai survival adalah self-expression.

Amel mengatakan, orang-orang survivalis melihat Covid-19 sekadar “cara lain untuk mati”. Mereka bukannya tidak takut, kata Amel, tetapi memprioritaskan ancaman yang jelas (kehilangan pendapatan) daripada yang tidak kelihatan (virus Covid-19).

“Lebih banyak orang yang bilang ‘ngapain sih kamu takut sama Covid kenapa enggak takut sama yang Mahakuasa wong [kalau sudah waktunya] mati ya pasti mati’,” ujarnya.

Menurut Amel, kampanye kesehatan yang bersifat komunikasi risiko dan menggunakan unsur ketakutan – terutama jika ketakutan itu hanya dipresentasikan, tanpa solusi yang bisa dilakukan – kurang efektif bagi masyarakat survivalis. Alih-alih memotivasi mereka untuk melakukan pencegahan, itu malah membuat mereka merasa tidak berdaya.

Pendekatan yang lebih tepat, Amel berpendapat, adalah pesan solidaritas – bagaimana caranya persoalan ini diselesaikan bersama-sama. “Pendekatan solidaritas itu yang dari awal enggak keluar di komunikasi risikonya pemerintah,” kata Amel.

Bagaimana cara menanggapinya?

Najmah mengatakan pemerintah harus menyadari bahwa literasi dalam membaca pesan-pesan kesehatan antar sosial-ekonomi itu berbeda sehingga ia menyarankan agar pesan kesehatan yang disampaikan sederhana dan menggunakan bahasa daerah.

Pemerintah juga perlu memperkuat jejaring pengaman bagi masyarakat rentan, Najmah menambahkan, agar faktor ekonomi tidak lagi menjadi penghalang untuk melakukan pencegahan terhadap Covid-19.

“Karena beberapa responden bilang lebih baik keluar rumah (dan berisiko kena Covid) daripada di rumah saja dan anak-anaknya tidak makan,” kata Najmah.

Pada tingkat individu, Amel menyarankan agar kita tidak membuang-buang energi dengan berusaha meyakinkan para penganut teori konspirasi, yang menurutnya “tidak bisa diselamatkan”. Alih-alih, kita perlu fokus untuk meyakinkan orang-orang yang masih abu-abu.

Seorang pemilik kedai kopi memberikan makan siang gratis kepada pedagang kopi keliling di Gading Serpong, Tangerang, Banten, Selasa (27/7/2021)

Cara yang utama adalah dengan meng-“inokulasi” mereka dengan informasi yang benar sebelum mereka terpapar informasi yang salah – seperti halnya vaksin. Ini memang tidak gampang saat misinformasi dan hoaks menyebar dengan mudah melalui media sosial.

“Gimana caranya informasi yang betul sampai duluan, atau informasi yang betul dibombardir lebih banyak,” kata Amel.

Selain itu, Amel menyarankan pendekatan yang empatik dan dengan narasi yang menggugah emosi. Misalnya, benar-benar mendengarkan alasan seseorang tidak percaya Covid atau tidak mau melakukan pencegahan, dan menawarkan bantuan bila diperlukan.

“Daripada mereka dimarahi, disebut Covidiot, itu lebih membantu,” kata Amel.

Sumber : BBC [dot] COM