Keputusan pemerintah pusat menghapus data kematian akibat Covid-19 sebagai indikator mengevaluasi pembatasan sosial dianggap tidak sesuai kaidah pengendalian pandemi dan bisa berakibat fatal.
Padahal setidaknya dalam tujuh hari terakhir, jumlah kematian akibat Covid-19 di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia, mencapai 12.054 kematian atau selisih 5.363 kematian dari Brasil yang ada di peringkat kedua.
Lembaga pemantau independen bahkan menyebut selama ini terdapat selisih 19.000 kematian antara data pemerintah daerah dan pusat.
Namun pemerintah menyebut penghapusan data kematian sebagai indikator evaluasi ini hanya bersifat sementara, sampai proses perbaikan data selesai dilakukan.
Pangkal dari penghapusan data kematian ini adalah pola pikir keliru para pejabat negara, kata epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo.
Keputusan yang tidak sesuai kaidah akademis itu menurutnya bisa membuat pandemi di Indonesia tidak kunjung selesai karena kebijakan pengendalian Covid-19 didasarkan pada data yang salah.
“Pola pikir pejabat kita keliru, kasus yang tampak tinggi dianggap aib,” ujarnya via telepon, Rabu (11/08).
“Kalau dilaporkan dengan benar, kasus kematian memang tinggi di awal. Kalau data itu dibuat apa adanya, kita bisa membuat kebijakan yang tepat.
“Kalau datanya tidak benar, kita menipu diri sendiri. Datanya terlihat kecil, kita dianggap sudah aman dari Covid-19. Kebijakan yang diambil akhirnya tidak tepat, ‘sudah kita longgarkan saja’.
“Masyarakat bisa lengah dan abai. ‘Oh sudah aman kok, kita tidak usah perketat prokes’. Larinya bisa ke sana. Pandemi tidak bisa selesai kalau responsnya salah,” ujar Windhu.
Pemerintah setidaknya dalam dua pekan ke depan tidak akan mempertimbangkan data kematian dalam mengevaluasi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4 dan level 3 di sejumlah daerah.
Hal ini dikatakan Juru Bicara Menko Maritim dan Investasi, Jodi Mahardi. Bos Jodi, Luhut Panjaitan, adalah koordinator penanggulangan Covid-19.
Dalam keterangan tertulis kepada BBC Indonesia, Jodi menyebut pemerintah akan terlebih dulu memastikan keakuratan data kematian.
Artinya, kelanjutan PPKM usai 16 Agustus mendatang tidak akan didasarkan pada data kematian ini.
Jodi berkata, pihaknya menemukan data kematian harian yang ternyata merupakan akumulasi beberapa minggu. Akibatnya, kata dia, data kematian itu tidak valid dan kebijakan pembatasan sosial terhadap suatu daerah pun tidak tepat.
“Banyak angka kematian yang ditumpuk atau dicicil pelaporannya sehingga dilaporkan terlambat. Jadi terjadi distorsi atau bias pada analisis sehingga sulit menilai perkembangan situasi satu daerah,” kata Jodi.
“Hal serupa terjadi dengan kasus aktif, banyak kasus sembuh yang belum terlaporkan. “Sedang dilakukan clean up data, diturunkan tim khusus untuk ini. Nanti indikator kematian ini akan dimasukkan lagi jika datanya sudah rapi,” ujarnya.
Jodi mengatakan indikator kebijakan PPKM yang digunakan adalah tingkat okupansi tempat tidur di rumah sakit, jumlah kasus positif, jumlah tes, rasio pelacakan, serta kondisi sosial-ekonomi masyarakat.
Walau perbaikan data Covid-19 vital dilakukan, Windhu Purnomo menilai jumlah kematian semestinya tetap menjadi pertimbangan.
Dalam pengendalian pandemi, kata dia, seluruh data saling melengkapi untuk melihat efektivitas kebijakan.
“Mengendalikan pandemi itu harus melihat hulu, yaitu rasio kepositifan, angka konfirmasi positif, indeks reproduksi penularan.
“Di hilir yang dilihat adalah okupansi tempat tidur, tingkat hospitasilasi, mortalitas (kematian) dan fatalitas. Kalau salah satu dicabut, bagaimana mengevaluasi keberhasilan kita.
“Kita akan seperti berada di lorong gelap tanpa lampu sorot. Seluruh indikator itu adalah lampu sorot kita,” kata Windhu.
Bagaimanapun, persoalan data Covid-19 yang tidak kunjung selesai sejak tahun lalu dianggap aneh oleh analis data Lapor Covid-19, Said Fariz Hibban.
Lembaga tempat Said bekerja adalah pemantau independen yang digagas pakar dari berbagai bidang.
Said menyebut hingga saat ini format data dari laboratorium yang melakukan tes swab masih beragam, dari yang berbentuk dokumen pdf, fail gambar jpeg, hingga dalam bentuk lembar kerja excel.
Bahkan, kata dia, pengiriman data di beberapa daerah dilakukan lewat aplikasi pesan singkat Whatsapp, bukan melalui sistem pendataan yang terpusat.
“Sistemnya tidak terintegrasi. Data di situs pemerintah kabupaten/kota, provinsi, dan pemerintah pusat berbeda.
“Seharusnya bisa disinkronisasi di era teknologi canggih ini. Harusnya ini bisa diantisipasi pemerintah pusat untuk menciptakan sistem pelaporan yang lebih cepat. Saya khawatir ini tidak diperbaiki sehingga selisih data terus melebar,” ujar Said.
“Ini masalah sumber daya manusia dan hal non-teknis, yaitu kemauan pemerintah memperbaiki ini. Kalau tidak ada keinginan kuat, masalah ini tidak akan segera beres,” ucapnya.
Dalam pemantauannya, Said juga menemukan sejumlah tenaga kesehatan yang ditugaskan mengumpulkan dan mengirim data Covid-19 ke instansi pemerintah.
Menurutnya, tenaga kesehatan semestinya difokuskan untuk mengurus pasien. Dia menyarankan agar pemerintah merekrut tenaga pendata khusus agar persoalan tidak lagi muncul.
Menurut perhitungan Lapor Covid-19, hingga 7 Agustus lalu terdapat 124.790 orang meninggal dengan status positif Covid-19. Angka itu mereka hitung dari data resmi 510 pemerintah kabupaten dan kota.
Namun dalam periode yang sama, angka kematian yang dipublikasikan pemerintah pusat sebanyak 105.598 atau berselisih 19.192.
Selisih angka kematian positif Covid-19 terbesar terjadi di Jawa Tengah (9.662 kasus), Jawa Barat (6.215), Daerah Istimewa Yogyakarta (889), Papua (663), Kalimantan Barat (643), dan Sumatera Utara (616).
Seluruh angka tadi belum termasuk data orang meninggal dengan gejala Covid-19. Sejak tahun lalu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan setiap negara untuk mencatat kematian seperti ini sebagai kematian akibat Covid-19.
Namun pemerintah Indonesia memilih tidak melakukannya.
Sumber : BBC [dot] COM