Banyak produsen Jepang yang kurang terkenal jika dibandingkan dengan perusahaan seperti Toyota dan Sony, ternyata bagaikan pasak roda dalam inovasi dan rantai pasokan dunia. Salah satu perusahaan tersebut adalah Fujifilm yang telah berhasil hidup lebih lama daripada usia fotografi tradisional.
Fujifilm, perusahaan yang didirikan pada tahun 1934, kini telah melibatkan diri dalam berbagai usaha untuk menanggulangi COVID-19. Senior Executive Vice President Fujifilm, Takatoshi Ishikawa, menceritakan bahwa awalnya mereka memproduksi mesin X-Ray.
Takatoshi mengatakan mereka kemudian mengembangkan bisnisnya ke sektor medis, seperti ke bidang diagnostik.
Dalam upaya untuk mencipta-ulang diri mereka, Fujifilm menerapkan keterampilan tingkat mikron yang digunakan untuk membuat film berwarna ke dalam dunia farmasi dan kosmetik. Lalu secara bertahap mereka mengembangkan diri ke teknologi medis canggih yang kemudian dijadikan fokus strategis mereka. Perusahaan tersebut membangun diri menggunakan keahlian yang telah mereka kembangkan selama beberapa dekade.
Bahan utama dalam pembuatan film adalah gelatin yang berasal dari kolagen. Zat inilah yang membuat kulit manusia berkilau dan menjadi elastis. Oksidasi yang mengakibatkan kulit menjadi tua merupakan hal yang membuat sebuah foto menjadi pudar. Ini merupakan proses yang sudah lama diteliti oleh Fujifilm. Teknologi yang digunakan untuk memproses film juga dapat berguna untuk meningkatkan penyerapan kosmetik oleh kulit.
Takatoshi Ishikawa mengatakan bahwa dari luar orang-orang mungkin akan bertanya-tanya apa yang dilakukan Fujifilm dengan semua bisnis ini, namun apabila dilihat dari dalam, semua bisnis ini banyak terhubung dalam tekonologi dasar.
Sejak tahun 2006, Fujifilm telah melakukan belasan merger dan akuisisi, termasuk perusahaan pembuat perangkat USG SonoSite, serta perusahaan teknologi perawatan kesehatan Irvine Scientific dan Cellular Dynamics.
Pada tahun 2011, Fujifilm mengakuisisi dua perusahaan kontrak biofarmasi dari Merck & Co. Kini mereka adalah produsen nomor dua pada bidang tersebut setelah Lonza dari Swiss. Di Jepang sendiri, Fujifilm mengakuisisi Toyama Chemical Company pada tahun 2008. Pada awal tahun ini mereka juga membeli bisnis yang berhubungan dengan pencitraan diagnostik milik Hitachi, sebuah unit sistem medis.
Teknologi Fujifilm digunakan untuk membuat antigen untuk vaksin COVID-19 produksi Novavax, namun masih belum mendapat izin di Jepang. Mereka juga spesialis nanoteknologi yang digunakan pada vaksin mRNA, seperti yang diproduksi Pfizer dan Moderna.
Senior Executive Vice President Fujifilm Takatoshi Ishikawa menganggap bahwa produksi vaksin merupakan kebijakan nasional karena itu melampaui apa yang dapat dicakup oleh suatu perusahaan, seperti bagaimana sebuah perusahaan dapat menangani 30 hingga 40 ribu dosis sekaligus автокредит без взноса онлайн заявка.
Takatoshi melanjutkan bahwa banyak uang yang dibutuhkan untuk menciptakan vaksin, sehingga ia kurang yakin apakah pemerintah dapat mendukung sepenuhnya karena ini semua bergantung pada berapa banyaknya anggaran yang dapat mereka alokasikan.
Ia menambahkan, karena virus corona tidak seperti penyakit flu musiman, industri farmasi berspekulasi bahwa permintaan vaksin tidak akan berkurang.
Perusahaan yang berbasis di Tokyo tersebut mengembangkan sebuah tes PCR untuk mendeteksi virus corona yang dapat menunjukkan hasilnya dalam waktu 75 menit. Berbagai metode lama akan memerlukan waktu beberapa jam. Pada bulan Maret, Fujifilm mengembangkan sebuah alat pendeteksi sejumlah varian Covid-19. Sementara itu obat influenza produksi mereka, Avigan, sedang menjalani pengujian klinis untuk mengatasi virus corona.
Potensi sejumlah perusahaan untuk membuat vaksin di Jepang berlawanan dengan kenyataan pandemi di negara tersebut. Jepang sepenuhnya bergantung pada vaksin impor.
Peluncuran vaksin dalam beberapa minggu terakhir bergerak semakin cepat, namun produksi dari sejumlah perusahaan terpaksa harus diberhentikan karena persediaan bahan vaksin tidak mencukupi. Para kritikus mengatakan bahwa pengembangan vaksin dalam negeri telah menjadi loyo karena peraturan-peraturan birokratis dan kurangnya dana.
Anggaran tahunan Jepang sebelumnya untuk penelitian guna pengembangan vaksin telah diperkirakan mencapai tujuh milyar yen atau sekitar 70 juta dolar, sekitar satu persen saja dari jumlah pengeluaran Amerika Serikat.