Perubahan Iklim, Ancaman Baru di Bumi

0
611

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), telah mengeluarkan kode merah untuk kemanusiaan. Ini dilakukan saat para ilmuwan menyebutkan peringatan keras mengenai darurat iklim.

Ancaman tersebut mempengaruhi pada kehidupan manusia, seperti untuk menunda kehamilan dan juga mendapatkan anak. Sebab sejumlah orang berpendapat banyaknya manusia akan makin memburuk emisi yang timbul dan kekurangan pangan juga makin meningkat.

Berdasarkan laporan Gedung Putih mengatakan cuaca ekstrem telah merugikan Amerika. Kerugian fisik dan ekonomi tambahan ini mencapai US$ 600 miliar selama lima tahun terakhir saja.

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson yang hadir di pertemuan G20 Italia juga menyinggung soal isu perubahan iklim. Dia mengajak pemimpin dunia mengantisipasi hal ini jika tidak peradaban akan hilang seperti yang terjadi pada Roma Kuno.

“Manusia sudah diingatkan bahwa ada sesuatu yang salah dan seharusnya kita segera mengantisipasi dengan kecepatan yang luar biasa,”ajak Johnson untuk mengurangi pengurangan karbon terutama negara-negara terbesar penghasil karbon seperti Rusia, Amerika Serikat, China, dan India, seperti dikutip dari newsobserver.com.

Anomali Cuaca Sebagai Dampak Perubahan Iklim

Catatan di atas merupakan gambaran situasi terkini yang tengah kita hadapi. Anomali cuaca ini pada dasarnya adalah bagian dari dampak perubahan iklim. Hujan intensitas tinggi dan kadang tidak dapat diprediksi, kadang juga suhu panas ekstrem, sampai kacaunya tata musim, sebenarnya pola-pola umum yang diakibatnya oleh perubahan tata iklim. Mengapa demikian?

Perubahan iklim jika merujuk pada laporan IPCC dalam ‘Special Report: Global Warming Of 1.5 ºc: Glossary’ adalah suatu keadaan di mana terdapat perubahan keadaan iklim yang dapat diidentifikasi (misalnya, memakai uji statistik atau observasi terukur) dengan melihat perubahan rata-rata atau variabilitas sifat-sifat pada kondisi tata iklim, terutama dalam jangka waktu yang lama, biasanya beberapa dekade atau lebih. Pada laporan IPCC di tahun 2018, perubahan iklim ini mencakup pemanasan global yang disebabkan oleh aktivitas manusia yang dalam skala besar berdampak pada pola cuaca, seperti aktivitas ekonomi.

Penyebab utama perubahan iklim adalah keberadaan emisi gas efek rumah kaca yang semakin besar dan menumpuk di atmosfer, sebagian besar adalah jenis karbondioksida dan metana. Gas efek rumah kaca salah satunya disebabkan oleh adanya penggunaan energi berbahan bakar fosil untuk menunjang aktivitas ekonomi, selain itu juga akibat dari pertanian skala luas, industri tambang dan pengolahannya, seperti logam bahkan semen, dan dari semua aktivitas tersebut selalu bertalian dengan deforestasi atau hilangnya hutan, seperti yang diungkapan IPCC dalam ‘Technical Summary Report 2021.’

Merujuk pada catatan Karen Smith dalam artikelnya di The Conversation yang berjudul ‘The Unexpected Link Between The Ozone Hole and Arctic Warming,’ situasi perubahan iklim menyebabkan peningkatan suhu permukaan, karena akibat dari menumpuknya gas efek rumah kaca di atmosfer mengganggu lapisan ozon, sehingga paparan pantulan sinar matahari langsung mengenai objek tanpa ada proses filterisasi. Hasilnya paparan sinar matahari langsung itu menyebabkan melelehnya salju dan es di wilayah kutub. Kondisi itu menyebabkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat, selain juga menyumbang peningkatan permukaan rata-rata air laut.

Selain faktor tersebut, menurut artikel dari Samantha Jakuboski di Nature.com yang berjudul ‘Deforestation and Global Warming’ fakta soal deforestasi yang mengakibatkan hilangnya hutan juga menjadi faktor penting yang turut menjadi penyebab dari meningkatkannya suhu permukaan. Karena hilangnya hutan telah melepaskan karbon yang banyak ke atmosfer, sementara dengan hilangnya hutan, berarti bumi kehilangan pengikat karbon alamiahnya dan juga kehilangan produsen oksigen terbesarnya. Dampaknya tentu, perlahan-lahan suhu menjadi meningkat.

Situasi ini telah mendorong perubahan tata iklim, karena semakin besar gas efek rumah kaca di atmosfer mengganggu siklus hidrometeorologi. Maka tidak heran kita mengalami anomali cuaca, seperti musim yang tidak pasti hingga persoalan tiba-tiba hujan dan kadang panasnya keterlaluan. Sekarang saja suhu permukaan bumi telah meningkat sekitar 1,2°C sejak tahun 2020, cukup tinggi dibandingkan sejak masa pra-industri atau jika merujuk pada tahun 80an, jika melihat laporan dari World Meteorological Organization (WMO) yang berjudul ‘New climate predictions increase likelihood of temporarily reaching 1.5 °C in next 5 years,’ WMO pun memprediksi kemungkinan sekitar 20 persen suhu saat ini akan melebihi 1,5 °C pada awal 2024.

Lalu Apa Solusinya?

Mungkin di antara kita akan berpikir bahwa ketika cuaca panas melanda, solusinya adalah membeli kipas angin atau pendingin ruangan. Jika ada hujan tidak menentu agar mobilitas tidak terganggu, kredit atau membeli mobil adalah salah satu cara menghindari berbasah-basah di jalan. Atau di antara kita akan lebih banyak beribadah, bahwasanya ini mungkin kita banyak dosa atau meyakini ini sudah memasuki akhir zaman.

Di sinilah pentingnya pendidikan lingkungan hidup sejak dini, minimal memberikan materi lingkungan hidup sejak dini terkait apa itu lingkungan hidup, khususnya seperti apa perubahan iklim serta dampaknya. Karena pengetahuan itu paling tidak akan mendorong kepekaan dan kesadaran betapa pentingnya melindungi lingkungan hidup.

Karena dengan memiliki kesadaran itu kita akan lebih banyak bergerak dalam aksi-aksi terkait bagaimana melindungi lingkungan hidup kita. Terutama bergerak untuk mengurangi resiko perubahan iklim sampai ke hal yang utopis yakni menghentikannya. Mungkin kita melihat anak seperti Greta Thurnberg dari Swedia mulai menyebarkan semangat pentingnya mulai bersuara untuk bumi terutama terkait perubahan iklim, yang kemudian diikuti oleh anak-anak muda dari Asia seperti Mitzi Jonelle Tan dari Filipina, lalu Kim Dohyeon dari Korea Selatan dan anak-anak muda lainnya di Asia, seperti dalam warta berjudul ‘Youth climate activists spread Greta Thunberg’s message in Asia.’

Anak-anak muda ini berani bersuara, terutama mengkritik dan mendesak pemerintah di negara mereka bahkan global untuk bertanggung jawab atas situasi perubahan iklim yang semakin parah. Mereka pun mengingatkan dan mengajak semua orang di dunia ini untuk turut bergerak menyelamatkan bumi yang sedang tidak baik-baik saja. Semua itu tidak terjadi secara instan, paling tidak anak-anak muda tersebut belajar perubahan iklim dan secara lebih luas dari pendidikan lingkungan hidup di ruang-ruang kelas mereka atau adanya akses literatur yang tersedia luas.

Mungkin solusi terbaik adalah memperluas pendidikan lingkungan hidup dan ketersediaan literatur yang mudah diakses, terutama upaya untuk meningkatkan kesadaran atas kerusakan lingkungan yang menjadi pemicu perubahan iklim beserta peningkatan resiko bencana. Sehingga ke depan anak-anak muda di Indonesia akan lebih banyak peduli dan melakukan aksi nyata penyelamatan lingkungan hidup, karena mereka adalah generasi yang akan terimbas akibat semakin rusaknya bumi, seperti adanya perubahan iklim hingga persoalan kelangkaan oksigen, hilangnya air dan kelangkaan makanan di masa depan.