Seorang perempuan merakit bahan peledak buatan sendiri, menghadapi pasukan Rusia dan seorang presiden yang menantang. Itulah sebagian unggahan yang beredar di media sosial.
Di seluruh dunia, orang-orang beralih ke media sosial untuk melihat secara langsung konflik yang terjadi di Ukraina, meneruskan cuitan atau memposting ulang apa yang mereka lihat.
“Media sosial jelas dijadikan senjata dalam konflik ini. Ukraina kemudian menggunakan media sosial untuk mempublikasikan perlawanan mereka dan berupaya menggalang solidaritas internasional untuk melawan Rusia,” ujar Emerson Brooking, salah seorang peneliti senior di Digital Forensic Research Lab dari Atlantic Council.
Di tengah perseteruan itu adalah sejumlah perusahaan teknologi. Setelah belajar dari beberapa krisis lain, perusahaan-perusahaan itu bergerak cepat. Facebook, Google, dan lainnya telah mengurangi penyebaran disinformasi Rusia dengan melarang media yang disponsori negara, dan dalam beberapa kasus memblokir semua iklan Rusia.
Sejumlah perusahaan melembagakan langkah-langkah baru untuk mengurangi potensi bahaya bagi warga Ukraina, misalnya dengan cara enkripsi pesan langsung di Instagram, atau dengan menyembunyikan informasi mengenai lalu lintas di Ukraina sesuai waktu yang sebenarnya di peta Apple dan Google.
“Ada tarik ulur sekarang antara mereka yang meminta untuk bergerak cepat dan pada saat yang sama orang lain meminta perusahaan-perusahaan teknologi untuk berhati-hati dan melangkah dengan bijaksana,”papar Direktur program etika internet pada Markkula Center for Applied Ethics di Santa Clara University, Irina Raicu.
Sejauh ini, beberapa perusahaan teknologi masih beroperasi di Rusia atau mencoba untuk bertahan. Meski perusahaan Apple menghentikan penjualan produknya di Rusia dan menarik aplikasi media pemerintah dari toko aplikasinya, Apple tidak sepenuhnya memblokir toko aplikasi di negara beruang merah itu. Google juga tidak mengoperasikan Google Play, toko aplikasi miliknya.
Para pengamat berpandangan perusahaan teknologi harus berhati-hati dalam menjalankan pedoman dan aturan mereka sendiri ketika harus memutuskan layanan, tidak hanya melakukan penawaran kepada pemerintah suatu negara.
“Menurut saya perusahaan-perusahaan itu perlu mencari cara untuk memastikan, di satu sisi, warga Rusia memiliki akses pada perangkat mereka dan harus untuk bertahan dari meningkatnya tekanan dari pihak pemerintah agar perangkat itu tidak tersedia,” tutur David Kaye yang pernah menjabat sebagai pelapor khusus PBB sekaligus profesor hukum di University of California.
Pada Jumat lalu, Kremlin memblokir akses ke Facebook dan Twitter, sehingga menyulitkan warganya mengakses medial sosial tersebut.
“Bagaimana kita memastikan agar tetap tersedia ruang bagi akses yang mudah pada informasi dan kebebasan berekspresi, namun pada saat bersamaan, memungkinkan kita – dalam arti publik, perusahaan, dan pemerintah – untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkannya?” kata David Kaye.
Ketika situasi berubah, diskusi tentang peran media sosial dalam konflik kemungkinan juga akan berubah.