Para raksasa teknologi melakukan PHK massal, dari Meta, Microsoft, Amazon sampai yang terakhir Google. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya sampai belasan ribu. Hal ini menimbulkan rasa heran.
Terlebih lagi, perusahaan itu sebenarnya masih membukukan pendapatan dan profit yang begitu besarnya. Sebut saja Microsoft baru saja melaporkan pendapatan USD 57,2 miliar dengan profit USD 16,4 miliar.
Memang banyak faktor berperan, seperti tekanan pasar saham dan investor, terlalu banyak merekrut pegawai di masa lalu serta ketidakpastian ekonomi belakangan ini. Di sisi lain, mungkin mereka melakukannya karena meniru yang lain.
“CEO adalah orang normal yang menavigasi ketidakpastian dengan meniru perilaku,” tulis Derek Thompson dari The Atlantic. Dia mengutip perkataan profesor bisnis Jeffrey Pfeffer, dari Stanford.
“Apakah Meta terlalu berlebihan merekrut orang? Mungkin saja. Tapi apakah itu sebabnya mereka memberhentikan orang? Tentu saja tidak. Semua perusahaan ini menghasilkan uang. Mereka melakukannya karena perusahaan lain juga melakukannya,” cetusnya.
Pfeffer percaya bahwa ‘penularan sosial’ ini dapat menyebar ke industri lain. “PHK menular lintas industri dan di dalam industri,” katanya.
Adapun pebisnis Ashneer Grover menilai seharusnya PHK bisa dihindari, misalnya memotong gaji para petinggi. “Sedih mendengar pemecatan setiap hari. Saya bersyukur tak pernah harus memecat karena pasar yang buruk, karena saya selalu merekrut dengan penuh pertimbangan. Sebagai pendiri, Anda harus memikirkan permainan jangka panjang,” tulisnya.
Pengurangan gaji 25 sampai 40% menurutnya bisa jadi alternatif daripada PHK massal, sambil menambahkan bahwa ia tidak mengerti mengapa petinggi perusahaan tidak menempuh pilihan ini saja.
“Saya telah menyarankan sekitar 25-40% pengurangan gaji beberapa waktu lalu sebagai alternatif PHK massal. Saya tidak mengerti mengapa pendiri tidak menempuh jalan itu,” katanya seperti dikutip detikINET dari Business Standard.