Perubahan iklim memberi dampak berbeda terhadap masing-masing makhluk hidup di muka Bumi. Lantas, siapakah yang akan selamat dari peristiwa tersebut?

Ekolog dan mantan associate professor di University of Helsinki, Giovanni Strona menyebut perbedaan dampak itu sebagai “pemenang dan pecundang perubahan iklim”. Ia pernah membuat studi pada tahun 2022 tentang skenario dampak perubahan iklim terhadap keragaman hayati di dunia.

Dalam sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Sciences Advances pada 2022, Strona menemukan pada skenario emisi menengah, Bumi akan kehilangan hampir 20 persen keanekaragaman hayati vertebrata pada akhir abad ini. Kemudian, dalam skenario pemanasan terburuk, dampak tersebut meningkat hingga hampir 30 persen.

Strona menyebut perubahan iklim memiliki efek tidak langsung yang menghancurkan ekosistem. Hal ini ditemukan usai membuat model 15 ribu jaringan rantai makanan yang mewakili hubungan ribuan spesies vertebrata.

Ia kemudian membuat simulasi beberapa perubahan iklim dan penggunaan lahan yang nantinya akan memiliki dampak berbeda-beda pada ekosistem.

Simulasi tersebut menunjukkan ketika perubahan iklim secara langsung menyebabkan hilangnya satu spesies, hal itu mengakibatkan hilangnya beberapa spesies yang bergantung pada satu spesies tersebut untuk makanan, penyerbukan, atau layanan ekosistem lainnya.

Efek domino yang dikenal sebagai “kepunahan bersama” ini akan membuat sebagian besar keanekaragaman spesies vertebrata darat menurun karena perubahan iklim.

Sayangnya, studi ini tidak memodelkan serangga dan tumbuhan dalam simulasinya, sehingga dampak keseluruhan pada organisme di Bumi belum dapat diperkirakan.

Studi Strona menunjukkan hubungan hewan dalam ekosistem alami sangat kompleks, ditambah ketidakpastian tentang bagaimana perubahan iklim yang ekstrem akan terjadi.

Hal ini menyulitkan penelusuran data semacam itu dan menentukan dengan tepat hewan mana yang bisa lebih bertahan.

“Apa yang kami temukan adalah bahwa spesies yang lebih besar dan spesies pada tingkat [rantai makanan] trofik yang tinggi akan lebih terpengaruh,” ujar Strona, seperti dikutip LiveScience.

Dalam studi lain, Gonzalo Albaladejo Robles dari University College London mengungkap kriteria lain soal makhluk yang akan selamat dari perubahan iklim.

Robles melakukan penelitian terhadap 461 spesies binatang di enam benua dan menganalisa secara historis dampak disruptif penggunaan lahan dan perubahan temperatur di populasi mereka.

“Apa yang kami temukan dalam penelitian kami adalah bahwa spesies yang berkembang biak dengan sangat cepat sangat bagus dalam mengeksploitasi habitat baru – mengambil energi dan mengubahnya menjadi keturunan,” kata Robles yang merupakan seorang ahli biologi konservasi.

Menurut Robles, spesies dengan perkembangbiakan yang cepat bisa bertahan di tengah perubahan iklim karena mereka lebih adaptif terhadap perubahan habitat.

Siklus perkembangbiakan yang cepat memberikan mereka “kesempatan untuk bertahan di tengah puncak kerusakan lingkungan” seperti cuaca ekstrem atau habitat yang musnah.

Hal sebaliknya berlaku untuk spesies dengan siklus perkembangbiakan yang lambat. Populasi mereka bahkan menurun seiring perubahan habitat dan temperatur.

Selain soal pola perkembangbiakan, ukuran dan pola makan juga berperan penting dalam ketahanan binatang-binatang ini. Binatang berukuran besar seperti gajah akan lebih kesulitan bertahan di tengah perubahan iklim karena kebutuhan habitat yang lebih besar.

Lebih lanjut, binatang dengan pola makan yang khusus seperti panda dan koala juga lebih berisiko. Sementara, binatang yang lebih luwes soal makanan seperti rakun dan gagak bakal lebih bertahan.