Udara di sejumlah wilayah, termasuk Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek), terasa panas dan gerah belakangan ini. Fenomena antariksa ekuinoks hingga masalah kelembapan jadi penyebabnya.

Deputi Bidang Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Guswanto menjelaskan sensasi panas dan gerah saat ini terkait beberapa faktor. Pertama, posisi Matahari yang percis di atas Indonesia.

“Saat ini 20 Maret 2023, posisi semu Matahari ada di sekitar ekuatorial (0 derajat), yang berdampak penyinaran Matahari cukup banyak ke wilayah Indonesia,” ujar dia kepada CNNIndonesia.com, Jumat (24/3).

Dikutip dari situs Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), posisi semu Matahari yang melintasi khatulistiwa ini terkait dengan fenomena ekuinoks (equinox).

Puncaknya terjadi di RI pada 21 Maret. Saat itu terjadi, durasi siang dan malam di seluruh bagian dunia sama panjang, Matahari terbit tepat di timur dan tenggelam di barat.

Selain itu, fenomena tersebut secara tidak langsung memang dapat meningkatkan kenaikan suhu. Pasalnya, radiasi Matahari juga berbanding lurus terhadap suhu permukaan Bumi.

“Akan tetapi, ini hanyalah salah satu faktor saja yang memengaruhi. Perlu mempertimbangkan faktor lainnya di luar faktor astronomis,” ujar peneliti Pusat Riset dan Antariksa BRIN Andi Pangerang.

Efek lanjutan dari ekuinoks adalah Kulminasi, yakni saat Matahari tengah hari benar-benar ada di atas kepala pengamat. Dampaknya adalah fenomena hari tanpa bayangan. Setidaknya 11 kota mengalaminya sepanjang Maret-April ini.

Awan dan kelembapan

Di luar ekuinoks, Guswanto mengungkap faktor kedua penyebab udara terasa gerah adalah kondisi cuaca yang umumnya cerah hingga berawan pada pagi hingga siang hari.

“Yang berarti kondisi perawanan yang bisa menghalangi sinar Matahari relatif kurang,” ucapnya.

Guswanto menggarisbawahi saat ini, ketika memasuki bulan Ramadhan, sebagian besar wilayah Indonesia memasuki wilayah Pancaroba.

“Kondisi tersebut yang saat ini dapat memicu kondisi suhu pada siang hari di Jabodetabek dan beberapa wilayah Indonesia lainnya dapat terjadi cukup terik,” kata dia.

Faktor ketiga adalah kelembapan udara. Khusus untuk Jabodetabek, Guswanto menyebut angkanya cukup rendah, sekitar 70-80 persen.

“Dengan dua kondisi tersebut dapat berdampak pada kondisi yang cukup terik di wilayah Indonesia selatan ekutor, terutama pada siang-tengah hari,” tutur dia.