Pelajar dan mahasiswa termasuk di antara 100 juta pengguna chatbot kecerdasan buatan (AI), ChatGPT, yang diluncurkan pada November 2022. Tren ini memicu kepanikan di kalangan pendidik, yang bahkan melarang penggunaannya. Bagaimana pelajar dan mahasiswa AS menanggapi reaksi atas ChatGPT?

Tidak dipungkiri ChatGPT, yang sekarang telah dikembangkan perusahaan lebih jauh pada versi-versi lainnya termasuk GPT-4, mampu menjawab pertanyaan sederhana hingga menyusun esai dan rangkuman dalam hitungan detik.

Pelajar dan mahasiswa termasuk di antara jutaan penggunanya. Banyak yang menemukan cara untuk menggunakannya secara kreatif dan tidak membahayakan, dan memanfaatkan kemudahannya dalam menjawab pertanyaan serta membantu tugas-tugas lainnya.

Elmo Sabian, seorang mahasiswa di California, mengakui konsekuensi yang harus dihadapi mahasiswa di tengah perkembangan teknologi dan pemanfaatannya.

“ChatGPT itu sangat membantu mahasiswa. Namun, ya dengan perkembangan zaman ini, semua kan pasti ada positif dan negatifnya. Negatifnya, aku percaya ini bisa membuat orang lebih malas. Dia tidak memperhatikan di kelas dan dia bisa menyerahkan semua ke AI ini,” kata Elmo.

Philips Lung, siswa SMU di negara bagian Virginia, telah bereksperimen sejak pertama kali ChatGPT diluncurkan ke publik. Ia memberi alasan mengapa ia menggunakan ChatGPT.

“Sangat menghemat waktu dalam menulis. Saya merasa sangat tepat dalam memberi bantuan. Seringkali seperti memiliki pembantu sebagai dasar dari jawaban atau esai kita,” kata Phillips.

Namun, pemanfaatan ChatGPT telah memicu kepanikan di sebagian kalangan pendidik.

Pada saat sekolah dibuka untuk tahun ajaran baru, Kota New York, Los Angeles, dan distrik sekolah umum besar lainnya di AS mulai memblokir penggunaan ChatGPT di ruang kelas dan perangkat sekolah.

Sebagian akademisi bahkan menyebut penggunaannya dalam penyusunan tugas sebagai kecurangan (cheating) yang bisa dikenai sanksi administratif, bahkan bisa dikeluarkan dari lembaga pendidikan.

“Kalau dibilang curang atau tidak tergantung bagaimana kita menggunakannya. Jika kita pakai saat ulangan, tentu saja itu adalah kecurangan,” kata Elmo.

“Namun saat kita menggunakannya untuk memahami suatu materi yang susah atau saat kita mengerjakan tugas sekolah — seperti halnya ketika kita bertanya kepada guru atau teman, menanyakan ke sumber-sumber di internet, menurutku, aku tidak melihat ChatGPT sebagai menyontek, melainkan sebagai tambahan sumber informasi yang bisa kita gunakan,” imbuhnya.

Philips sepakat bahwa menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) sepenuhnya untuk menulis esai secara moral salah.

“Jadi, saya setidaknya ingin berupaya sendiri. Tapi saya suka menggunakannya sebagai dasar dari esai pada konten yang diberikan oleh ChatGPT. Sesungguhnya yang dipaparkan ChatGPT tetap saja masih seperti paparan robot. Kita sudah pasti bisa mengenali apakah hasil AI atau tidak. Kita tetap harus mengolah kualitas dan memperbaiki kesalahannya untuk menjadi paparan wajar,” tutur Phillips.

Seperti sebagian mahasiswa yang memanfaatkan penggunaan ChatGPT, kedua pelajar ini mengatakan pendidik sebaliknya juga harus mencari cara-cara inovatif yang menggugah pelajar untuk mendalami dan menguasai materi atau bidang pelajaran.

Mereka mengatakan meskipun memanfaatkan AI, dalam jangka panjang kemampuan intelektual pelajar akan tampak dan berpengaruh pada kehidupan sosial dan karir seseorang.