Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati meminta Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) segera dilakukan sebelum kondisi awan hujan semakin hilang karena masuk fase kemarau.
“Jadi TMC itu hanya bisa dilakukan kalau masih ada hujan dengan cara mengontrol dan mengendalikan hujan di tempat yang kita sasar misalnya di waduk-waduk bendungan atau di laut,” ujar dia secara virtual, Selasa (6/6).
Komentar ini ia sampaikan merespons beberapa pihak khawatir penerapan modifikasi cuaca bikin banjir di sejumlah wilayah.
Menurutnya, modifikasi cuaca itu harus dilakukan sesegera mungkin pada saat kondisi awan hujan masih tersedia.
Jika tidak, membuat hujan buatan gagal dilakukan karena harus ada awan konvektif (awan yang dihasilkan dari proses pemanasan radiasi Matahari yang mengandung titik-titik air) yang bisa menurunkan hujan.
Ia menjelaskan Bulan Juni ini merupakan awal masuk musim kemarau. Namun, beberapa wilayah masih terdapat awan hujan yang bisa dirangsang untuk menurunkan hujan.
Dengan demikian, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk dilakukan modifikasi cuaca agar hujan buatan bisa turun sehingga tempat penampungan air seperti waduk atau embung-embung bisa menjadi tempat cadangan air di kala musim kemarau datang.
“Mohon jangan menunda (modifikasi cuaca), justru modal dasar untuk modifikasi karena awan pun masih ada. Jangan takut teknologi ini membuat banjir karena dijatuhkanya di tempat-tempat yang membutuhkan air seperti lahan gambut dan tempat panen air,” tuturnya.
Senada dengan Dwikorita, Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto menjelaskan Indonesia perlu mengantisipasi kekeringan di sejumlah wilayah dengan langkah-langkah modifikasi cuaca.
Menurut Guswanto, arah angin di Indonesia saat ini sudah bertiup ke arah timur. Ini berarti musim kemarau sudah 70 berada di Indonesia.
“Ini bisa dibarengi dengan berkurangnya pertumbuhan awan hujan di Bali, Jawa dan Nusa Tenggara. Ini perlu diwaspadai untuk langkah-langkah modifikasi cuaca,” kata dia secara virtual, Selasa (6/6).