Sains di Balik Ledakan Bom Atom Karya Oppenheimer

0
363
Ledakan bom atom di Nagasaki, Jepang, 1945. Oppenheimer memimpin tim yang meracik senjata pemusnah massal ini. (AP) Baca artikel CNN Indonesia "Sains di Balik Ledakan Bom Atom Karya Oppenheimer" selengkapnya di sini: https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20230721014657-199-975894/sains-di-balik-ledakan-bom-atom-karya-oppenheimer. Download Apps CNN Indonesia sekarang https://app.cnnindonesia.com/

Film Biopik karya Christopher Nolan, Oppenheimer, mengangkat kisah fisikawan yang kemudian dikenal sebagai ‘bapak bom atom’. Simak perjalanan ilmiah temuan timnya dalam dunia nyata.

Film ini menceritakan tentang J. Robert Oppenheimer, saintis di balik proses pembuatan senjata nuklir pertama, dan timnya, Manhattan Project, pada era Perang Dunia II.

Di bawah kepemimpinan Oppenheimer, sekelompok kecil ilmuwan abad 20 itu menciptakan senjata yang sangat mematikan. Mereka melakukannya dari hal terkecil; membelah atom.

Dari mana ini bermula?

Kita dapat melacaknya sejak fisikawan Albert Einstein merilis persamaan paling tenar sejagat; energi setara dengan massa dikalikan kecepatan cahaya kuadrat, E = MC2.

Jika kita dapat mengubah materi dalam waktu sekejap menjadi energi, kita mungkin dapat menangkap energi tersebut dalam reaktor nuklir atau menciptakan senjata paling kuat sepanjang masa.

Bom atom sendiri memiliki kekuatan destruktif yang luar biasa. Kekuatannya berasal dari pelepasan energi secara tiba-tiba yang dihasilkan dengan membelah inti elemen fisi yang membentuk inti bom.

Fisi sendiri terjadi ketika neutron menabrak inti dari salah satu isotop, membelah inti menjadi beberapa bagian dan melepaskan sejumlah besar energi.

Proses fisi berjalan mandiri ketika neutron yang dihasilkan oleh pemisahan atom menabrak inti atom di dekatnya dan menghasilkan lebih banyak fisi. Hal ini dikenal sebagai reaksi berantai dan inilah yang menyebabkan ledakan atom.

Materi yang pas

Masalahnya, dikutip dari syfy, sebagian besar materi tetap menjadi materi. Para ilmuwan harus berjibaku mencari materi khusus. Hasilnya positif; uranium dan plutonium, atau lebih spesifiknya isotop uranium-235 dan plutonium-239.

Dalam konteks reaksi nuklir, uranium-235 seperti balon yang terisi hampir sampai titik puncaknya. Satu embusan udara tambahan, bahkan dorongan lembut dari orang yang lewat, sudah cukup untuk membuatnya meletup.

Sementara, atom uranium-235 mendapat ‘dorongan lembut’ dari neutron yang menggiringnya ke tepi. Ketika meletus, atom ini terbagi menjadi dua atom baru, masing-masing dengan jumlah proton dan neutron sekitar setengahnya.

Proses ini juga melepaskan beberapa neutron bebas dan energi yang luar biasa.

PR lainnya, tidak semua atom uranium diciptakan sama. Sebagian besar uranium di dunia adalah uranium-238, dan itu payah untuk fisi. Jenis ini tidak akan terbelah kecuali kita memukulnya dengan neutron berenergi tinggi.

Dalam bijih uranium alami, hanya sekitar 0,7 persen adalah uranium-235, atau kira-kira satu dari setiap 139 atom.

Agar cukup, para ilmuwan harus menemukan cara untuk memilah 235 dari sisa materi dalam proses yang dikenal sebagai pengayaan. Karena secara kimia identik dengan uranium-238 yang lebih umum, uranium-235 tidak dapat dipisahkan dengan metode kimia konvensional.

Manhattan Project putar otak. Pada akhirnya, mereka mengejar beberapa metode termasuk sentrifugal, difusi gas, difusi termal, dan pemisahan elektromagnetik.

Massa kritis

Usai mendapatkan materi yang tepat, langkah selanjutnya adalah proses yang pas. Jika diperhatikan, neutron adalah awal dan akhir dari proses tersebut.

Kita mendapatkan atom yang dapat dibelah, melemparkan neutron ke arahnya, dan kita mendapatkan dua atom yang lebih kecil, sejumlah energi, dan beberapa neutron di sisi lain. Jika tidak ada bahan fisi lain di dekatnya, itulah akhir dari proses ini.

Membuat sejumlah besar reaksi fisi terjadi pada saat yang sama merupakan tantangan bagi fisikawan di Manhattan Project. Jika fisi dimulai terlalu dini atau terjadi terlalu lambat, kekuatan ledakan akan berkurang drastis.

Jika ingin ledakan yang lebih besar, ilmuwan mesti membelah atom berulang kali dan melepaskan energi yang sangat besar sekaligus.

Salah satu caranya adalah membuat neutron bekerja untuk kita. Ketika atom pertama membelah dan melepaskan neutron, kita ingin neutron itu menabrak atom lain dan seterusnya dalam reaksi berantai.

Masalahnya adalah, fisikawan tidak dapat mengontrol ke mana neutron pergi. Peneliti hanya dapat memicu kemungkinan-kemungkinan.

Untuk memastikan reaksi berantai terjadi, bom atom dilengkapi dengan bahan fisi yang cukup dalam konsentrasi yang cukup padat. Alhasil, setiap neutron baru yang terbentuk rata-rata akan menyerang inti lain.

Punya cukup bahan untuk memastikan proses itu terjadi disebut massa kritis.

Kerja dua bom

Dikutip dari Nuclear Museum, AS mengembangkan dua jenis bom atom selama Perang Dunia II. Yang pertama, Little Boy, adalah senjata jenis pistol dengan inti uranium. Bom ini dijatuhkan di Hiroshima.

Bom ini memiliki dua bagian uranium yang terpisah, masing-masing terlalu kecil untuk mencapai massa kritis, yang disimpan dalam isolasi sampai saat-saat peledakan.

Saat bom siap meledak, kedua bagian itu dibanting bersama menggunakan sesuatu yang mirip dengan senjata konvensional. Sepotong uranium ditembakkan ke bawah laras senapan berlubang halus dan dihancurkan ke bagian lainnya.

Ketika kedua bagian bersatu, mereka mencapai massa kritis. Fisi memulai prosesnya. Atom uranium-235 menyerap neutron dan membelah diri menjadi dua atom baru. Atom tersebut melepaskan tiga neutron baru dan sejumlah energi pengikat.

Dua neutron tidak melanjutkan reaksi karena hilang atau diserap oleh atom uranium-238. Namun, satu neutron bertabrakan dengan atom uranium-235, yang kemudian mengalami fisi dan melepaskan dua neutron dan sejumlah energi pengikat.

Kedua neutron tersebut bertabrakan dengan atom uranium-235, yang masing-masing membelah diri dan melepaskan antara satu hingga tiga neutron, dan seterusnya. Hal ini menyebabkan reaksi berantai nuklir.

Senjata kedua, yang dijatuhkan di Nagasaki, disebut Fat Man dan merupakan perangkat jenis ledakan dengan inti plutonium yang kurang reaktif.

Metode untuk memicu fisi seperti pada Little Boy tak bekerja pada bom ini lantaran reaksi yang lambat yang tak juga mencapai massa kritis. Fisikawan membutuhkan solusi lain.

Peneliti pun menempatkan bola berlubang plutonium subkritis di perut bom. Bola itu dikelilingi oleh bola bahan peledak konvensional lainnya. Beberapa detonator dipicu pada saat yang sama, menciptakan ledakan yang kuat di dalam bom.

Kepadatan plutonium pun meningkat karena semuanya dihancurkan menjadi satu dan mencapai kondisi superkritis. Reaksi berantai pun terjadi. Jamur raksasa menyala…