Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta mengungkap ada peningkatan intensitas gempa bumi di wilayah DIY yang bersumber dari aktivitas Sesar Opak selama lima tahun terakhir.

Sesar Opak adalah patahan dengan jalur sesar yang mencapai 45 kilometer di sepanjang aliran Sungai Opak, DIY. Sungai Opak berhulu dari lereng Gunung Merapi, lalu mengalir ke selatan dengan muara langsung ke Samudra Hindia di Pantai Parangtritis, Bantul, DIY.

“Kalau kita lihat dari data seismisitas, data kegempaan beberapa tahun ke belakang dari tahun 2022, 2021, 2020 dan seterusnya kita lihat lima tahun terakhir kurvanya cenderung meningkat,” kata Kepala Stasiun Geofisika Kelas 1 Sleman Setyoajie Prayoedhie saat dihubungi, Selasa (15/8).

Berdasarkan hasil monitoring Stasiun Geofisika Kelas I Sleman, pada 2018 tercatat 136 kejadian gempa bumi di wilayah DIY. Angka itu meningkat menjadi 144 kejadian pada 2019; 160 kejadian pada 2020; dan 282 kejadian pada 2021; dan 902 kejadian pada 2022.

Namun demikian, kegempaan tersebut tak hanya dipicu oleh aktivitas Sesar Opak, tapi juga disebabkan sebagian dari subduksi Lempeng Indo-Australia dan Eurasia.

Hasil analisis BMKG, kegempaan tersebut rata-rata memiliki kekuatan di bawah Magnitudo 5,0 atau kategori kecil. Gempa ini, kata Setyoajie, tidak bisa dirasakan manusia dan hanya terbaca menggunakan alat pendeteksi getaran.

Setyoajie menerangkan pemicu peningkatan kegempaan itu antara lain sebagai efek rilis akumulasi energi Sesar Opak yang sampai sekarang masih aktif. Dia menyebut fenomena ini sebagai indikasi bahwa kawasan itu merupakan daerah gempa.

Setyoajie mengatakan peningkatan intensitas gempa bumi di lintasan Sesar Opak ini tidak perlu dikhawatirkan lantaran gempa-gempa itu justru mengurangi potensi kemunculan gempa berkekuatan lebih besar.

“Secara teoritis dengan banyaknya gempa yang terjadi itu kan ada rilis energi yang dikeluarkan, ketimbang energi yang terakumulasi justru ketika terjadi gempa, gempanya besar. Jadi dengan adanya gempa-gempa kecil pada dasarnya membantu mengurangi gempa besar,” kata dia.

Peningkatan intensitas kegempaan akibat akitivitas Sesar Opak ini pun, katanya, masih dalam kategori normal. BMKG terus memonitor aktivitas gempa bumi di DIY selama 24 jam melalui sembilan sensor.

“Dalam kategori normal karena memang DIY dan Jateng dan selatan DIY memang zona aktif gempa. Artinya gempa bisa terjadi kapan saja,” terangnya.

Setyoajie tak menyangkal Sesar Opak juga menyimpan potensi memicu gempa bumi hingga magnitudo 6,5 atau gempa merusak seperti yang pernah terjadi pada 27 Mei 2006 silam. Selain itu juga waktu kejadiannya tidak bisa diprediksi.

Dia menekankan bahwa berbagai informasi terkait aktivitas gempa di kawasan Sesar Opak ini tidak disampaikan untuk membuat masyarakat panik. Melainkan semestinya disikapi dengan peningkatan kewaspadaan, mitigasi, hingga membuat bangunan dengan desain dan konstruksi tahan gempa.

“Paham konsep mitigasi gempa bumi, paham konsep evakuasi mandiri, sehingga diharapkan kalau pun terjadi dampaknya tidak terlalu signifikan,” pungkasnya.

Sebelumnya, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebut keberadaan dua sumber gempa di DIY yang masih terus aktif.

Menurutnya, sumber gempa itu berasal dari subduksi lempeng atau megathrust dengan magnitudo tertarget M 8,7 dan Sesar Opak yang memiliki magnitudo tertarget M 6,6.

Tak cuma gempa, kata dia, ada potensi tsunami setinggi 8-10 meter yang bisa menerjang pantai Selatan Jawa.

“Sesar Opak merupakan sumber gempa yang jalurnya terletak di daratan ini memang aktif dan belum berhenti aktivitasnya. Sedangkan di Samudra Hindia selatan Yogyakarta juga terdapat sumber gempa subduksi lempeng atau megathrust, yang juga masih sangat aktif,” ungkap Dwikorita di sela ASEAN Regional Disaster Emergency Response Simulation Exercise (ARDEX) 2023, dikutip dari siaran persnya.