‘Genosida’ Muslim Rohingya di Myanmar: Aung San Suu Kyi Menyanggah Tuduhan di Mahkamah Internasional

0
680

Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi menyanggah tuduhan bahwa negaranya melakukan genosida di Mahkamah Internasipnal (ICJ).

Peraih hadiah Nobel Perdamaian ini menjawab tuduhan mengenai “kekejaman yang dilakukan oleh Myanmar” terhadap minoritas Muslim Rohingya.

Dalam pidato pembukaan sidang, ia mengatakan bahwa kasus terhadap Myanmar ini “tidak lengkap dan keliru”.

Katanya, masalah yang ada di negara bagian Rakhine, tempat tinggal minoritas Rohingya, sudah terjadi sejak berabad-abad lalu.

Ribuan Rohingya dibunuh dan lebih dari 700.000 kabur ke negara tetangga Bangladesh ketika tentara Myanmar melakukan serangan di tahun 2017, kata PBB dan sejumlah organisasi HAM.

Myanmar berkeras tindakan itu adalah upaya menangani ancaman kelompok ekstrem di negara bagian Rakhine.

Suu Kyi membela posisi itu, seraya menyebut kekerasan yang terjadi sebagai “konflik bersenjata internal yang dipicu oleh serangan terhadap pos polisi”.

Menanggapi tuduhan militer Myanmar mungkin menggunakan kekuatan berlebihan, Suu Kyi menanggapi, jika memang para tentara melakukan kejahatan perang, “mereka akan dihukum”.

Suu Kyi merupakan pemimpin de facto Myanmar sejak April 2016, sebelum genosida yang dituduhkan ini terjadi.

Ia tidak memiliki kendali terhadap tentara tetapi ia dituduh oleh penyelidik PBB “terlibat” karena bersetuju terhadap tindakan militer.

Suu Kyi mengatakan, Myanmar berkomitmen untuk melakukan repatriasi terhadap orang-orang yang terusir dari Rakhine, serta meminta agar pengadilan tak melakukan tindakan yang memperburuk konflik.

Apa peran Aung San Suu Kyi?

Myanmar yang diajukan ke pengadilan, bukan Aung San Suu Kyi.

Mahkamah Internasional (ICJ) tidak bisa menghukum individu sebagaimana misalnya yang bisa dilakukan oleh International Criminal Court (secara terpisah ICC juga menyelidiki kasus Rohingya).

Namun, hingga batas tertentu, kasus ini juga terkait dengan Suu Kyi yang meraih hadiah Nobel Perdamaian tahun 1991.

Suu Kyi telah menjadi pemimpin de facto Myanmar sejak bulan April 2016, sebelum genosida yang dituduhkan terjadi. Ia dituduh oleh penyelidik PBB “terlibat” dengan memberi persetujuan kepada militer.

“Saya mohon anda untuk membuka mata, dan mohon gunakan kewenangan moral anda, sebelum terlambat,” kata penyelidik, Yanghee Lee, bulan September.

Suu Kyi memastikan bulan November bahwa ia akan secara pribadi memimpin pembelaan diri negaranya di pengadilan di Den Haag – dalam perannya sebagai menteri luar negeri – bersama “pengacara internasional terkemuka”.

Apa kemungkinan hasil persidangan ini?

Hingga kini, Gambia meminta kepada pengadilan untuk menerapkan “langkah-langkah sementara” guna melindungi minoritas Rohingya di Myanmar, dan di mana saja, dari ancaman atau kekerasan lebih lanjut.

Langkah ini akan mengikat secara hukum.

Untuk memutuskan apakan Myanmar melakukan genosida, pengadilan harus memastikan bahwa negara Myanmar bertindak “dengan niatan menghancurkan seluruh atau sebagian” minoritas Rohingya.

Bahkan jika ICJ memutuskan Myanmar bersalah, mereka tidak memiliki alat paksa untuk menjalankan putusan itu terhadap Aung San Suu Kyi ataupun para jenderal Myanmar.

Para pemimpin Myanmar itu tidak akan secara otomatis ditahan serta diadili karenanya.

Namun putusan bahwa mereka bersalah bisa mengarah pada sanksi, dan bisa menyebabkan kerusakan ekonomi dan reputasi Myanmar.

Bagaimana situasi terakhir yang dihadapi oleh minoritas Rohingya?

Ratusan ribu minoritas Rohingya meninggalkan Myanmar sejak operasi militer dimulai.

Pada tanggal 30 September, terdapat 915.000 pengungsi Rohingya di kamp-kamp di Bangladesh.

Hampir 80% dari mereka tiba antara Agustus dan Desember 2017, serta bulan Maret tahun ini. Bangladesh menyatakan tak akan menerima lagi pengungsi baru.

Bulan Agustus, Bangladesh membentuk skema repatriasi sukarela – tetapi tak ada satupun orang Rohingya yang mau menjalaninya.

Bangladesh berencana merelokasi 100.000 pengungsi ke Bhasan Char, sebuah pulau kecil di Teluk Bengala, tetapi ide ini ditentang oleh 39 aid lembaga pemberi bantuan dan kelompok perlindungan hak asasi manusia .

Bulan September, wartawan BBC Jonathan Head melaporkan bahwa barak polisi, bangunan pemerinah dan kamp relokasi pengungsi telah dibangun di lokasi bekas desa-desa minoritas Rohingya di Myanmar.