General Manager Network Strategic Roadmap Telkomsel, Christian Guna Gustiana menyebut secara teknis investasi untuk konektivitas 5G dinilai besar. Sebab, dibutuhkan Base Transceiver Station (BTS) tiga kali lipat dibanding 4G.
“Jika dibandingkan dari sisi power [kekuatan] yang dibutuhkan 5G butuh 3 kali lipat lebih besar, bisa dibayangkan harga 4G sekarang, investasi [5G] yang dibutuhkan akan sangat besar,” tuturnya saat Media Update 5G for Industrial di kantor Telkomsel, Jakarta, Rabu (18/12).
Meski begitu, dia berharap nantinya investasi 5G untuk diimplementasikan di Indonesia tak terlalu besar.
“Untuk saat ini kita belum punya juga price list-nya [daftar harga] tetapi mudah-mudahan harga perangkat-nya [menara BTS] tidak besar,” pungkas Christian.
Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengatakan jaringan 5G dengan frekuensi tinggi memiliki tingkat cakupan sinyal yang rendah. Cakupan sinyal rendah ini berimbas pada mesti banyaknya investasi menara BTS agar bisa menyediakan cakupan sinyal yang luas.
Saat melakukan uji coba 5G di salah satu pabrik di kawasan Jakarta Utara bersama Smartfren pada Agustus 2019, Direktur Penataan Sumber Daya, Ditjen SDPPI, Kemenkominfo, Denny Setiawan mengatakan saat ini uji coba 5G di Indonesia menggunakan spektrum 28 GHz.
Dengan frekuensi itu, cakupan sinyal untuk satu BTS hanya 200 sampai 300 meter.
“Teorinya kalau frekuensinya makin tinggi cakupannya makin kecil, tadi kan cuma 200 sampai 300 meter artinya perlu investasi yang sangat banyak,” kata Denny.
Oleh karena itu tingginya nilai investasi membuat 5G dari segi model bisnis tak ekonomis untuk diterapkan bagi masyarakat luas. Model bisnis baru cocok untuk industri yang menerapkan otomasi dengan kebutuhan kecepatan jaringan tinggi dan lattency yang rendah.
“Kalau diterapkan nasional berarti ini tidak bisa di-deploy biasa karena harus butuh BTS yang banyak. Ini sebenarnya efektif di daerah-daerah tertentu seperti daerah pabrik,” ujarnya.
Tawarkan Solusi Network Slicing
Christian kemudian menilai solusi Network Slicing dapat membuat jaringan 5G untuk kebutuhan industri lebih aman.
“Network slicing memungkinkan itu [data] bisa private karena model bisnis [5G] lebih banyak ke B2B karena untuk industri dan solusi ini bisa lebih aman,” ucapnya.
“Misal kita kerjasama dengan salah satu industri, lalu kita sediakan [komputasi awan atau cloud] yang betul-betul privat dengan network slicing. Jadi itu [cloud] terpisah dengan konsumen, terpisah juga dengan enterprise [perusahaan],” sambung Christian.
Network slicing 5G end to end sebetulnya adalah kunci transformasi digital bagi industri yang mendukung jaringan 5G. Solusi ini memudahkan sumber daya berupa jaringan fisik untuk dialokasikan secara fleksibel ke beberapa network slices secara virtual.
Dilansir ZDNet, network slicing berbasis cloud atau komputasi awan yang lengkap (end to end) untuk 5G RAN, core network, dan bearer network.
Selain itu, solusi ini juga mengintegrasikan policy engine dengan bantuan AI agar terus dapat meningkatkan operasional yang canggih dan kapabilitas jaminan layanan jaringan 5G.
Jika menilik dari sisi akses, menurut Christian jaringan 4G dan 5G memiliki core yang relatif sama. Sebab, pada 5G dikenal dua core yaitu standalone dan non standalone, yang mana core non standalone bisa juga dipakai untuk 4G.
“Dari sisi core, tidak terlalu berbeda. Jadi kalau di 5G ada namanya standalone dan non standalone bahkan non standalone pun bisa dipakai untuk core 4G,” pungkasnya.
SA (standalone) dan NSA (non standalone) merupakan dua jalur koneksi 5G. Saat ini, smartphone 5G hanya hadir dengan dukungan mode NSA. Jaringan ini sejalan dengan spesifikasi 3GPP. Jaringan 5G NSA masih didukung dengan infrastruktur 4G.
Berbeda dengan SA. Mode ini baru akan dapat digunakan ketika infrastruktur 5G sudah tersedia sepenuhnya. Mode ini akan menawarkan latensi super rendah dan penggunaannya akan lebih luas ketimbang mode NSA seperti dikutip GSMA.