Tahun ajaran baru sekolah baru saja dimulai pada medio Juli 2023. Namun, empat kasus perundungan yang telah terjadi di satuan pendidikan merupakan indikasi masih maraknya kasus perundungan di dalam satuan pendidikan.
Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, mengatakan dari 16 kasus perundungan pada satuan pendidikan mayoritas terjadi pada tingkat sekolah dasar (25 persen), sekolah menengah pertama (25 persen), dan sekolah menengah atas (18,75 persen), dan sekolah menengah kejuruan (18,75 persen).
“Kemudian terjadi di madrasah tsanawiyah dan pondok pesantren masing-masing 6,25 persen,” katanya, pada Jumat (4/8).
Retno memerinci jumlah korban perundungan di satuan pendidikan berjumlah 43 orang yang terdiri dari 41 peserta didik (95,4 persen) dan dua guru (4,6 persen). Adapun pelaku perundungan didominasi oleh peserta didik yaitu sejumlah 87 peserta didik (92,5 persen). Sisanya dilakukan oleh pendidik yaitu sebanyak lima orang (5,3 persen), satu orang tua peserta didik, dan satu kepala madrasah.
“Artinya korban terbesar adalah peserta didik yaitu 95,4 persen dan pelaku perundungan terbanyak juga peserta didik yaitu 92,5 persen,” sebutnya.
Retno menjelaskan dari 16 kasus perundungan di satuan pendidikan sebagian besar terjadi di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) (87,5 persen). Sedangkan, kasus perundungan yang terjadi pada satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama (12,5 persen).
“Meskipun hanya dua kasus perundungan (di madrasah dan pesantren) namun korban mencapai 16 peserta didik,” jelasnya.
Berdasarkan data FSGI wilayah kejadian perundungan di satuan pendidikan meliputi 8 provinsi dan 15 kabupaten/kota yakni Jawa Timur (Kabupaten Gresik, Pasuruan, dan Banyuwangi), Jawa Barat (Kabupaten Bogor, Garut, Bandung, Cianjur, Sukabumi dan Kota Bandung), Jawa Tengah (Kabupaten Temanggung), Bengkulu (Kota Bengkulu dan Kabupaten Rejang Lebong).
Kemudian, Kalimantan Selatan (Kota Banjarmasin), Kalimantan Timur (Kota Samarinda), Kalimantan Tengah (Kota Palangkaraya), dan Maluku Utara (Kabupaten Halmahera Selatan).
Korban Bullying Kini “Melawan”
Kasus perundungan di satuan pendidikan yang menjadi sorotan publik yakni kejadian di salah satu sekolah menengah atas di Kota Samarinda. Dalam kasus itu seorang pelajar menusuk teman sekelasnya yang diduga kuat kerap merundungnya, Senin (31/7). Kejadian itu sempat terekam kamera pengawas dan viral di media sosial.
Kasus perundungan lain yang menyita perhatian publik juga terjadi di salah satu sekolah di Rejang Lebong, Bengkulu. Kasus itu berawal saat seorang guru olahraga menegur seorang siswa karena kedapatan merokok. Teguran itu diabaikan. Lantaran emosi guru itu menendang bagian wajah siswa yang diduga merokok tersebut, Selasa (1/8).
Tak terima dengan perlakuan sang guru, siswa itu mengadu kepada orang tuanya, yang kemudian datang ke sekolah dengan membawa ketapel dan menyerang guru tersebut. Perbuatan orang tua siswa itu mengakibatkan guru mengalami kebutaan permanen.
“Terkait dengan kejadian tersebut kami mengecam segala bentuk kekerasan apalagi jika dilakukan dalam lembaga pendidikan,” pungkas Retno.
Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Kementerian Agama RI berkomitmen untuk melakukan penanggulangan kekerasan di dunia pendidikan melalui konsep Sekolah Ramah HAM, Kamis (3/8). Melalui kerja sama itu diharapkan mampu menciptakan pesantren, madrasah, dan satuan pendidikan keagamaan menjadi ruang pendidikan yang aman serta melindungi peserta didik mereduksi segala bentuk kekerasan, perundungan maupun intimidasi yang kerap terjadi.
Sekjen Kementerian Agama RI, Nizar, mengakui jika perundungan yang terjadi di madrasah maupun satuan pendidikan keagamaan masih saja terus terjadi.
“Kasus kekerasan seperti ini telah lama dan terjadi di Indonesia, namun tindakan ini luput dari perhatian,” ucapnya seperti dikutip dari laman resmi Kementerian Agama, Jumat (4/8).
Nizar menjelaskan kondisi tindakan pelanggaran HAM di dunia pendidikan sangat memprihatinkan. Sekolah yang semestinya menjadi tempat aman dan nyaman untuk para peserta didik berubah menjadi menggelisahkan, menakutkan, dan penuh dengan kejahatan.
“Demi keberlangsungan generasi muda kedepan maka perlindungan anak diera globalisasi sangat dibutuhkan,” katanya.
Sekjen Komnas HAM, Henry Silka Innah, mengatakan konsep Sekolah Ramah HAM telah dirumuskan oleh pihaknya sejak 2014 serta diterapkan di kalangan pendidik, pengajar, maupun siswa di berbagai daerah seperti Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Aceh, Maluku, dan Aceh.
“Kegiatan ini menjadi salah satu program unggulan Komnas HAM untuk upaya penanggulangan kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di dunia pendidikan. Ke depannya, Sekolah Ramah HAM menjadi alat untuk mentransformasi pengetahuan dan kesadaran baru berbasis pada nilai dan norma HAM, sehingga pendidikan menjadi lebih humanis,” tandas Henry.