Suatu pagi pada November lalu, Cecep Supriyatna terkejut bukan main ketika dia sedang melewati jalan Pangurangan-Klangenan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Aktivis lembaga Sanggar Lingkungan Hidup itu mengaku melihat sejumlah tumpukan karung sampah yang tengah dibakar. Beberapa karung tumpah dan dia bisa menyaksikan apa isinya.
“Saya melihat ada sisa-sisa jarum, waduh! Ada botol-botol darah yang isi darahnya masih ada. Lalu beberapa bungkus obat hepatitis, HIV/AIDS, terus tali bekas infus,” papar Cecep.
Kepada BBC Indonesia, pria tersebut mengirimkan beragam foto temuannya yang menampilkan kantung obat dan ampul bertuliskan sejumlah rumah sakit. Di antaranya rumah sakit di Lampung, Surabaya, Yogyakarta, Solo, Cirebon, dan Jakarta.
Limbah rumah sakit yang tergolong bahan berbahaya dan beracun (B3) itu, menurut Cecep, telah menumpuk dan bercampur dengan sampah rumah tangga. Lokasinya berada di antara tepi jalan dan sungai.
“Tumpukan sampah di sana tidak sedikit. Itu sudah melebar ke area sungai dan mungkin ada yang hanyut. Karena tertutup dengan sampah rumah tangga jadi tidak terlalu kelihatan. Memang di situ kan tempat pembuangan sampah yang dibilang resmi tidak juga sih,” kata Cecep.
Investigasi
Temuan limbah B3 ilegal ini kemudian dilaporkan Cecep ke pemerintah kabupaten setempat, lalu ke tingkat provinsi.
“Langsung ada tim ke sini, ada juga tindakan pengecekan Kodim dan kepolisian. Tapi belum ada hasil pengusuta,” kata Cecep.
Di lokasi pembuangan kini terdapat sebuah plang dengan tulisan ‘Dilarang Melakukan Kegiatan Apapun di Areal Ini’ beserta logo Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Benny Bastiawan, selaku Kepala Balai Penegakan Hukum KLHK Wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, mengatakan pihaknya telah mengerahkan sejumlah petugas di kawasan seluas 2.500 meter persegi tersebut.
Dia mengonfirmasi temuan limbah medis B3, antara lain jarum suntik bekas, ampul bekas, botol/plastik infus bekas, selang infus bekas, jarum infus bekas, obat kadaluwarsa, dan hasil sampel pengambilan darah.
Atas temuan lapangan tersebut, Benny Bastiawan mengatakan bahwa KLHK melakukan pengamanan lokasi dengan melakukan penyegelan karena adanya dugaan tindak pidana Pasal 104 UU 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal itu menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin, terancam pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp3 miliar.
“Lokasi tersebut sedang dibereskan oleh pemerintah daerah setempat. Tapi setelah kami datang ya jangan dirapikan dulu karena kami mau melakukan investigasi untuk mendapatkan fakta-fakta hukum di TKP,” kata Benny.
Penyelidikan kasus itu kini menyoroti proses pembuangan limbah B3 yang melibatkan jaringan rumah sakit, layanan pembuang limbah, dan pengolah sampah.
“Sekarang masih penyelidikan dulu, tidak bisa sebentar karena kami harus cek satu persatu. Limbah rumah sakit itu berasal dari rumah sakit, masuk ke trasporter, baru ke pengolah limbah. Itu tiga jaringannya yang kita cek,” ungkap Benny.
‘Tidak tahu dibuang ke mana’
Penanganan limbah B3 sejumlah rumah sakit selama ini ditangani secara khusus menggunakan jasa pihak ketiga. Pasalnya, tidak semua rumah sakit memiliki fasilitas pengolahan limbah B3.
Kendati demikian, pihak rumah sakit tidak tahu ke mana pihak ketiga membuang limbah B3, sebagaimana dijelaskan Lia Partakusuma selaku direktur penunjang Rumah Sakit Jantung Harapan Kita di Jakarta yang juga menjabat sebagai ketua kompartemen manajemen penunjang Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi).
“Limbah B3 yang kita tahu bahwa ada perusahaan yang membawanya, kita bekerja sama dengan pihak ketiga. Hanya ujungnya, ya sudah, kita tidak tahu ini diapain,” kata Lia kepada BBC Indonesia beberapa waktu lalu.
Selagi penyelidikan kasus pembuangan limbah medis B3 berlangsung, Cecep Supriyatna dari Sanggar Lingkungan Hidup di Cirebon punya harapan besar.
“Jelas, bisa dituntaskan siapa pelakunya, dihukum. Karena ini bukan saja urusan ekologi, urusan lingkungan, tapi ini juga urusan kemanusiaan karena risikonya sangat besar. Jadi harapannya pemerintah serius, dengan tidak menutup-nutupi siapa yang terlibat.”
Untuk mengelola limbah B3, terdapat tata cara khusus sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014.
Pasal 32 menyebut setiap orang yang menghasilkan limbah B3 namun tidak mampu mengumpulkan limbah B3 sendiri diwajibkan menyerahkannya kepada pengumpul limbah B3.
Kegiatan pengumpulan itu sendiri harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada pemerintah. Kemudian alat pengangkutannya punya rincian tersendiri yang diatur dalam peraturan menteri.
Adapun lokasi dan tata cara pembuangan limbah B3 memiliki beragam kriteria teknis yang harus dipenuhi sehingga pembuangan tidak bisa begitu saja dilakukan ke lingkungan hidup tanpa izin.
Sumber : bbc.com