Mengapa pemerintah berkeras mengambil alih Blok Mahakam?

0
1101

Awal tahun 2018 menandai beralihnya pengelolaan blok Mahakam ke tangan pemerintah, dari Total E&P yang sudah berusaha berulang kali memperpanjang izin kelola di sana. Mengapa pemerintah berkeras untuk mengambil alih kelola blok ini?

Penghasil gas terbesar di Indonesia

Terletak di delta sungai Mahakam di Kalimantan Timur, Blok Mahakam adalah situs penghasil gas terbesar di Indonesia. Setelah 50 tahun beroperasi, produksi minyak dan gas di blok ini berkurang drastis, namun jumlahnya masih sangat signifikan bagi Indonesia.

“Kecenderungannya memang cadangan minyak itu kalau sudah diproduksi beberapa lama itu akan turun terus produksinya. Oleh saat itu pada saat sebelum pengalihan, mulai dari bulan Juni, itu kita lakukan pemboran supaya produksi minyak dan gasnya tidak turun jadi dia menambah sumber-sumber baru,” kata Juru Bicara Pertamina Adiatmo Sardjito.

“Minggu lalu sudah selesai sampai 15 sumur. Cadangan yang masih ada di dalam bumi adalah 4,9 trillion cubic feet dan minyaknya ada 105 (juta barel),” tambahnya.

Pertamina adalah BUMN yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mengelola blok ini setelah kontrak perusahaan minyak asal Prancis, Total E&P selama 50 tahun tidak lagi diperpanjang.

Dengan produksi minyak sebesar 50 ribu barrel per hari, maka blok tersebut dapat bertahan selama enam tahun, jika tidak ditemukan cadangan baru, kata Adiatmo.

“Kalau dilakukan eksplorasi dan menemukan cadangan baru maka usia lapangan makin panjang”, kata dia.

Dianggap tidak ekonomis

Dengan cadangan yang semakin menipis, banyak yang mempertanyakan pengambilalihan kelola Blok Mahakam yang justru dinilai sebagian kalangan tidak ekonomis.

Bahkan Presiden Direktur Pertamina Hulu Indonesia, anak perusahaan Pertamina yang mengelola blok ini, Bambang Manumaryoso, memperkirakan tingkat pengembalian investasi di blok ini hanya 10% – setengah dari rata-rata industri di atas 20%.

Namun kritik itu disanggah juru bicara Pertamina Adiatmo.

“Kemungkinan itu adalah salah satu lapangan. Lapangannya ada banyak di situ, ada yang di selatan ada yang di utara. Dia (perhitungan tingkat pengembalian) di-bundling antara utara dan selatan, antara yang bagus dengan yang kurang bagus, hingga didapatkan internal rate of return-nya”, kata Adiatmo.

Bagaimanapun, Komaidi Notonegoro dari lembaga pengamat perminyakan ReforMiner Institute menegaskan selain amanat konstitusi, pemerintah pasti memiliki hitungan bisnis di Blok Mahakam ini.

“Memang ada aspek-aspek di luar bisnis yang bagi kita juga cukup strategis. Karena ini kan juga bagian dari amanat konstitusi bahwa kekayaan alam yang ada di bumi termasuk minyak dan gas ini harus dikuasai oleh negara. Tetapi saya kira juga tidak hanya sebatas itu, hitung-hitungan bisnis pasti tetap ada”, kata Komaidi.

Ditambahkannya, usaha panjang Total untuk memperpanjang kontrak di blok itu adalah sebuah indikator bahwa secara bisnis blok itu masih menguntungkan.

Menurut Komaidi, langkah pemerintah itu merupakan “bagian dari strategi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri supaya ketergantungan impor gas tidak terlalu besar.”

“Di 2019 kan kita sudah diproyeksikan akan melakukan impor gas sebenarnya. Tentu dalam bentuk LNG karena yang kita datangkan kan dari wilayah yang jauh. Selama ini LPG sudah kita impor karena memang produksi LPG kita sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan adanya konversi minyak tanah beberapa tahun yang lalu. Penggunaan gas ini kan terus berkembang, terutama dalam sektor industri, lalu transportasi dan beberapa wilayah di Indonesia sudah untuk rumah tangga. Jadi kebutuhannya memang semakin lama semakin besar”, papar Komaidi.

‘Kemungkinan’ akan ada investor lain

Sebagai pihak yang ditunjuk pemerintah, Pertamina dapat menggandeng investor lain untuk mengelola blok Mahakam yang sejauh ini direncanakan menghabiskan dana sebesar US$1,8 milyar atau setara Rp24 triliun.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2004, Pemerintah Daerah Kalimantan Timur berhak akan mendapatkan saham sebesar 10% – yang berarti Pertamina memiliki 90% saham.

Pertamina sendiri masih belum memastikan akan menggandeng partner lain, namun kemungkinan itu terbuka, ungkap Adiatmo.

“Di dalam bisnis itu semua terbuka”, kata dia.

Dan bagi Komaidi, mencari partner adalah keputusan yang masuk akal.

“Mungkin minimal yah 51% (kepemilikan saham Pertamina) karena memang kebutuhan Pertamina di 2018 sampai 2025 ke depan kan sangat besar”, kata Komaidi.

“Mereka punya mega project untuk kebutuhan kilang yang membutuhkan kalau tidak salah hampir Rp700 trilyun.Terus ada beberapa blok terminasi yang lain yang juga berdampak pada Pertamina jadi investasinya pasti akan dibagi-bagi ke sana.”

Sumber : bbc.com