Petinggi Gereja Katolik di India ‘Gagal Dukung Korban Pelecehan’

0
1003

Salah satu kardinal paling senior di gereja Katolik di India mengaku dia semestinya bisa berbuat lebih baik dalam menangani sejumlah tuduhan pelecehan seksual yang diadukan kepadanya.

Oswald Gracias, selaku Uskup Agung Mumbai, adalah satu dari empat pria yang menangani konferensi Vatikan mengenai pelecehan anak pada pekan ini.

Kami menemukan dua kasus terpisah yang diduga gagal ditanggapi cepat oleh sang kardinal. Pria yang disebut-sebut bakal menjadi Paus selanjutnya itu juga dituduh tidak memberikan sokongan kepada para korban.

Para korban dan orang-orang yang mendukung mereka menuding Kardinal Gracias tidak menanggapi dugaan pelecehan secara serius ketika mereka melaporkan kasus-kasus itu kepadanya.

Sejumlah umat Katolik di India mengatakan ada budaya ketakutan dan bungkam di Gereja Katolik tentang pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh pastor.

Adapun mereka yang lantang menyuarakannya mengaku menempuh perjuangan sulit.

‘Kepala saya sakit’

Kasus pertama dilaporkan pada 2015 di Mumbai.

Kehidupan seorang perempuan berubah drastis ketika putranya baru pulang dari misa di gereja dan mengatakan bahwa pastor telah memperkosanya.

“Saya tidak paham, apa yang harus saya lakukan,” kata perempuan tersebut.

Saat itu dia memang tidak tahu, tapi rangkaian kejadian selanjutnya menempatkannya berhadapan dengan Gereja Katolik di India.

Pria yang dia mintai tolong, dari saat itu hingga kini, adalah salah satu petinggi senior Gereja Katolik di India.

Hampir 72 jam setelah dugaan pemerkosaan terjadi, pihak keluarga bertemu dengan Kardinal Gracias—yang saat itu menjabat ketika Konferensi Uskup Katolik India dan Federasi Konferensi Uskup Asia.

Dugaan pelecehan seksual di dalam gereja disebut Takhta Suci Vatikan sebagai krisis terbesar sepanjang masa modern. Tidak berlebihan jika disebut integritas Gereja Katolik bergantung pada hasil konferensi ini.

Selama setahun terakhir, Gereja Katolik dilanda sejumlah tuduhan pelecehan seksual dari berbagai belahan dunia.

Namun, ketika klaim pelecehan itu menjadi topik utama di Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, dan Australia, klaim serupa hampir tidak disinggung di negara-negara Asia.

Di negara seperti India ada semacam stigma sosial ketika seseorang melaporkan pelecehan seksual.

Apalagi ada budaya ketakutan dan bungkam di antara umat Kristen India—yang ‘hanya’ berjumlah 28 juta orang—yang membuat sulit mengungkap seberapa besar masalah ini.

Kardinal Blase Cupich of Chicago—kolega Kardinal Gracias yang juga salah satu anggota komite pelaksana—berjanji bahwa aksi sigap di Roma dan berbagai keuskupan akan ditempuh setelah pertemuan berlangsung guna melindungi anak-anak dan mendatangkan keadilan bagi para korban.

Kardinal Gracias akan membuka hari kedua pertemuan tersebut dengan diskusi mengenai akuntabilitas pihak Gereja.

Peran penting yang diberikan kepadanya dalam konferensi krusial ini membuat sejumlah pihak di India tidak gembira.

Mereka mengatakan jejak rekam Kardinal Gracias dalam melindungi perempuan dan anak dari terduga pelaku pelecehan, dipertanyakan.

Kami mewawancarai orang-orang yang membawa kasus mereka kepadanya. Mereka mengaku menerima sedikit dukungan darinya.

Ibu dari anak yang mengaku diperkosa itu mengatakan: “Saya menceritakan kepada kardinal apa yang telah dilakukan sang pastor kepada anak saya, bahwa anak saya merasa sangat kesakitan. Dia berdoa untuk kami dan mengatakan dia harus pergi ke Roma…Kepala saya sakit ketika itu.

“Sebagai ibu, saya menghadap dia dengan harapan besar, bahwa dia akan memikirkan anak saya, memberikan saya keadilan, tapi dia berkata tidak punya waktu. Dia hanya peduli pergi ke Roma.”

Pihak keluarga mengaku meminta bantuan medis, tapi tidak diberikan apapun.

Kardinal Gracias mengatakan kepada kami bahwa dirinya sakit mendengar ini, dan bahwa dia tidak sadar anak laki-laki itu memerlukan bantuan medis. Jika dia dimintai tolong, kata sang kardinal, dia bakal segera menawarkannya.

Kardinal mengaku dirinya pergi ke Roma malam itu tanpa memberitahu aparat.

Tindakannya itu amat mungkin melanggar Undang-Undang India tentang Perlindungan Anak dari Kejahatan Seksual tahun 2012 (POSCO).

UU ini menyatakan jika seorang kepala perusahaan atau institusi gagal melaporkan pelanggaran anak buahnya atau bawahannya kepada negara, dia bakal dihukum penjara selama satu tahun disertai denda.

Kardinal Gracias mengatakan kepada kami dirinya telah menelpon seorang uskup keesokan harinya, yang memberitahu kepadanya bahwa pihak keluarga telah melapor ke kepolisian.

Ditanya apakah dia menyesal tidak menghubungi kepolisian pada waktu itu, Kardinal Gracias berkata: “Anda tahu saya bersikap jujur, saya tidak yakin 100%….tapi saya harus mengingat kejadian itu. Saya mengakui kepolisian harus terlibat segera, pasti.”

Dia mengatakan dirinya bertugas mengevaluasi kredibilitas tuduhan dengan berbincang dengan pria tertuduh.

Setelah pertemuan itu, pihak keluarga memutuskan untuk menemui seorang dokter.

“Dia hanya menatap anak saya sekali dan berkata ada sesuatu yang terjadi padanya. Ini adalah kasus polisi. Apakah Anda yang melaporkannya atau saya…Jadi kami pergi ke kepolisian malam itu,” ujar sang ibu, mengenang kejadian itu.

Pemeriksaan medis kepolisian mendapati bahwa anak laki-laki tersebut telah diserang secara seksual.

Pastor yang bertugas saat ini, berbincang dengan kami dengan syarat identitasnya dirahasiakan. Dia berkata bahwa bukan pertama kalinya kardinal menerima laporan mengenai pastor yang dituduh melakukan pelecehan seksual.

“Saya bertemu dengannya beberapa tahun sebelum (tuduhan) insiden ini,” ujar pastor saat ini.

“Ada rumor kencang tentang (pastor yang dituduh) di keuskupan mengenai pelecehan yang berlangsung. Dia sepertinya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu paroki ke paroki lainnya. Kardinal memberitahu saya secara langsung bahwa dia tidak tahu secara langsung hal-hal ini,” sambungnya.

Sang kardinal mengaku dirinya tidak ingat percakapan itu pernah terjadi. Dia mengatakan dirinya tidak mengingat adanya “pikiran curiga” terhadap pastor yang dituduh melakukan pelecehan seksual.

‘Perjuangan sunyi’

Sebagai bagian dari investigasi, kami ingin tahu apakah ada tuduhan lain yang menyebutkan kardinal lamban bereaksi.

Kami menemukan sebuah kasus hampir 10 tahun lalu yang dihadapkan kepadanya dua tahun setelah menjadi uskup agung Mumbai.

Pada Maret 2009, seorang perempuan mendekatinya dengan klaim bahwa dirinya dilecehkan secara seksual oleh seorang pastor.

Dia berkata dirinya tidak bertindak melawan pastor tersebut sehingga dia memberitahu sekelompok aktivis perempuan Katolik yang mendesak kardinal untuk bertindak.

Di bawah tekanan, Kardinal Gracias membentuk komite investigasi pada Desember 2011. Enam bulan setelah komisi dibentuk, tetap tidak ada tindakan dan pastor tertuduh terus bekerja di parokinya.

“Kami saat itu mengirim tiga somasi kepada kardinal, dengan ancaman kami akan maju ke pengadilan jika dia tidak beraksi,” kata Virginia Saldanha, seorang pemeluk Katolik yang bekerja pada divisi perempuan di lembaga yang berafiliasi dengan banyak gereja selama 20 tahun.

Kardinal pun merespons. Dia berkata: “Pastor itu tidak mendengarkan saya.”

Pada saat itu, Saldanha mengaku dirinya memutuskan untuk meninggalkan gereja karena “Saya tidak tahan melihat pria itu memimpin misa di gereja. Saya tidak merasa ingin pergi ke gereja.”

Pastor itu pada akhirnya meninggalkan paroki tersebut, tapi alasan kepergiannya tidak pernah diungkap ke publik.

Hukuman yang dijatuhkan oleh kardinal pada Oktober 2011 adalah “retreat yang dipandu dan konseling terapi”.

Saat kami mendesaknya mengenai rentang waktu antara proses dan penjatuhan hukuman, kardinal mengatakan itu adalah “kasus yang rumit”.

Setelah menghabiskan waktu di seminari, pastor tertuduh itu masih sempat memimpin paroki dan menjalani retreat.

Sementara itu, keluarga korban pemerkosaan merasa ditelantarkan oleh institusi tempat mereka bersandar.

“Ini adalah perjuangan sepi,” kata ibu korban.

Keluarganya dikucilkan dari gereja dan terisolasi di dalam komunitas mereka.

“Setelah melapor ke kepolisian, ketika kami pergi ke gereja, orang-orang menolak berbicara kepada kami dan duduk di samping kami saat misa. Jika saya duduk di sebelah orang…orang itu akan bangkit dan pergi,” paparnya.

Sikap permusuhan yang dia hadapi akhirnya “membuat kami meninggalkan gereja. Tapi itu sangat sulit bagi kami sehingga kami akhirnya juga pindah rumah. Kami meninggalkan semuanya”.

Sejumlah anggota gereja mengatakan sikap permusuhan sesama jemaat membuat sulit bagi korban dan keluarga mereka untuk angkat bicara.

Terperangkap di antara petinggi gereja yang cuek dan lingkungan yang menunjukkan sikap permusuhan, banyak korban dan keluarga mereka mendapati bahwa suara mereka tak terdengar.