Seorang Perempuan di Bangladesh Dibakar Sampai Mati Karena Melaporkan Pelecehan Seksual

0
771

Nusrat Jahan Rafi, seorang gadis Bangladesh, disiram minyak tanah dan dibakar di sekolahnya. Sekitar dua minggu sebelumnya, ia telah membuat pengaduan keluhan pelecehan seksual yang dilakukan oleh kepala sekolahnya.

Keberaniannya dalam mengungkap pelecehan seksual dan kematiannya sesudah ia dibakar, serta segala hal yang terjadi di antara peristiwa-peristiwa itu telah mengguncang Bangladesh serta membawa perhatian pada kerentanan korban pelecehan seksual di negara Asia Selatan tersebut.

Nusrat, 19 tahun, berasal dari Feni, sebuah kota kecil 160 kilometer dari ibukota Dhaka. Ia belajar di madrasah atau sekolah Islam di Bangladesh. Pada tanggal 27 Maret, ia menyatakan kepala sekolah memanggilnya ke kantornya dan berulang kali menyentuhnya dengan cara tak pantas. Sebelum keadaan menjadi lebih buruk, ia pun kabur dari ruang itu.

Banyak perempuan muda di Bangladesh memilih untuk menyimpan dalam-dalam pelecehan dan kekerasan seksual yang mereka alami karena takut tambah dipermalukan oleh keluarga atau masyarakat mereka.

Yang membedakan dengan Nusrat Jahan adalah ia tidak hanya bicara, tapi ia juga melaporkan pelecehan seksual itu ke polisi dengan bantuan keluarganya pada hari ketika pelecehan seksual yang dituduhkan itu terjadi.

Di kantor polisi setempat, ia memberi pernyataan. Ia seharusnya disediakan tempat yang aman saat melaporkan pengalaman traumatisnya itu. Alih-alih, ia malah difilmkan oleh seorang petugas yang menerima laporannya saat menggambarkan siksaan yang ia hadapi.

Di rekaman video itu, terlihat jelas Nusrat merasa tertekan dan mencoba menyembunyikan wajahnya dengan tangan. Polisi yang menerima pengaduannya terdengar mengatakan “tak apa-apa” dan meminta Nusrat menyingkirkan tangan dari wajahnya. Belakangan, rekaman video itu bocor ke media setempat.

Saya mencoba membawanya ke sekolah

Nusrat Jahan Rafi berasal dari kota kecil, datang dari sebuah keluarga yang konservatif, serta belajar di sekolah agama. Bagi seorang perempuan dalam posisinya, melaporkan pelecehan seksual bisa mendapat konsekuensi berat. Korban kerap menerima penghakiman dari komunitasnya, pelecehan – secara langsung maupun daring – dan dalam beberapa kasus, serangan fisik dengan kekerasan. Nusrat mengalami semua pengalaman tersebut.

Pada tanggal 27 Maret, sesudah ia melapor, polisi menangkap sang kepala sekolah. Namun persoalannya memburuk bagi Nusrat. Sekelompok orang berkumpul di jalan menuntut pembebasan si kepala sekolah. Protes ini diatur oleh dua orang murid laki-laki. Politisi setempat diduga ikut hadir di sana. Orang-orang mulai menyalahkan Nusrat. Keluarganya mulai merasa khawatir akan keselamatannya.

Tak urung, pada tanggal 6 April, atau sebelas hari sesudah pelecehan seksual terhadapnya, Nusrat datang ke sekolah untuk menghadiri ujian akhir.

“Saya mencoba membawa saudari saya itu ke sekolah dan masuk ke dalam, tapi saya dihentikan dan tak diperbolehkan masuk,” kata saudara Nusrat, Mahmudul Hasan Noman.

“Kalau saya tak dihentikan, hal seperti itu tak akan terjadi pada saudari saya itu,” katanya.

Menurut sebuah pernyataan yang diberikan oleh Nusrat, seorang teman perempuannya di sekolah membawanya ke atap sekolah sambil berkata seorang temannya dipukuli. Ketika Nusrat tiba di atap, empat atau lima orang – memakai burqa – mengelilinginya dan diduga mendesaknya untuk menarik tuduhannya kepada si kepala sekolah.

Ketika Nusrat menolak, mereka membakarnya.

Kepala penyelidik kepolisian Banaj Kumar Majumder mengatakan para pelaku ingin agar pembunuhan “itu terlihat seperti bunuh diri”. Rencana itu gagal ketika Nusrat berhasil diselamatkan ketika mereka meninggalkan tempat kejadian. Nusrat mampu memberi pernyataan sebelum meninggal dunia.

“Salah satu pembunuh itu menekan kepalanya dengan tangannya, dan minyak tanah tidak disiramkan ke kepala, maka kepalanya tak terbakar,” kata Majumder kepada BBC Bengali.

Namun ketika Nusrat dibawa ke rumah sakit setempat, dokter menemukan luka bakar telah menutupi 80 persen tubuhnya. Karena tak sanggup menangani luka tersebut, mereka mengirim Nusrat ke Dhaka Medical College Hospital.

Di dalam ambulans, karena khawatir tak akan selamat, Nusrat merekam pernyataan di telepon genggam saudaranya.

“Si kepala sekolah itu telah menyentuh saya. saya akan melawan kejahatan ini hingga napas saya yang terakhir,” begitu bunyi rekamannya.

Ia juga mengidentifikasi beberapa penyerangnya sebagai para pelajar di sekolahnya.

Berita tentang Nusrat mendominasi pemberitaan media di Bangladesh. Pada tanggal 10 April ia meninggal dunia. Ribuan orang datang ke pemakamannya di Feni.

Sejak itu, polisi telah menahan 15 orang, tujuh di antaranya dituduh terlibat dengan pembunuhan. Di antara mereka yang ditangkap, terdapat dua orang pelajar yang mengorganisir protes mendukung si kepala sekolah. Si kepala sekolah sendiri masih di dalam tahanan. Polisi yang memfilmkan pengaduan pelecehan seksual Nusrat telah dipindahkan dari jabatannya dan dialihkan ke departemen lain.

Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina telah bertemu keluarga Nusrat di Dhaka dan berjanji bahwa setiap orang yang terlibat di dalam pembunuhan itu akan diadili. “Tak ada pelaku yang akan terbebas dari tindakan hukum,” kata Sheikh Hasina.

Kematian Nusrat telah memicu protes dan ribuan orang menggunakan media sosial untuk menyatakan kemarahan mereka, baik terhadap kasus itu maupun pada perlakuan terhadap korban pelecehan dan kekerasan seksual di Bangladesh.

“Banyak perempuan yang tidak protes karena takut sesudah kejadian itu. Burqa, bahkan pakaian dari besi tak mampu menyetop pemerkosa,” kata Anowar Sheikh di laman Facebook BBC Bengali.

“Saya ingin punya anak perempuan sepanjang hidup saya, tapi sekarang saya takut. Melahirkan anak perempuan di negeri ini artinya hidup dan ketakutan dan kecemasan,” kata Lopa Hossain di post Facebook-nya.

Menurut kelompok pembela hak perempuan di Bangladesh, Mahila Parishad, terdapat 940 peristiwa perkosaan di Bangladesh pada tahun 2018. Namun beberapa peneliti menyatakan angka sesungguhnya kemungkinan besar jauh lebih tinggi.

“Ketika seorang perempuan mencoba mencari keadilan untuk pelecehan seksual, ia harus menghadapi lebih banyak lagi pelecehan. Kasusnya bisa berjalan beberapa tahun, dan ia akan dipermalukan oleh masyarakat, keinginan polisi untuk melakukan penyelidikan yang pantas juga sangat kecil,” kata Salma Ali, pengacara hak asasi manusia dan bekas direktur asosiasi pengacara perempuan di Bangladesh.

“Ini membuat para korban berhenti mencari keadilan. Ujung-ujungnya para penjahat ini tidak dihukum, dan mereka akan melakukan kejahatan serupa. Yang lain tidak takut melakukan kejahatan semacam itu karena contoh-contoh yang terjadi ini.”

Kini orang-orang bertanya: mengapa kasus Nusrat hanya mendapat perhatian sesudah ia diserang? Dan apakah kasus Nusrat ini akan mengubah cara pandang orang tentang pelecehan seksual di Bangladesh?

Di tahun 2009, Mahkamah Agung memerintahkan pembangunan ruang khusus untuk pelecehan seksual di lembaga pendidikan di mana para pelajar bisa melakukan pengaduan, tetapi hanya sedikit sekali sekolah yang menjalankan perintah itu. Para aktivis kini menuntut agar perintah itu dilaksanakan dan dimasukkan ke dalam undang-undang agar bisa melindungi para pelajar.

“Peristiwa ini telah mengguncang kita, tetapi sebagaimana kita lihat di masa lalu, peristiwa ini dilupakan seiring berjalannya waktu. Saya pikir tak akan banyak perubahan sesudah ini. Kita harus lihat apakah keadilan ditegakkan,” kata Profesor Kaberi Gayen di Universitas Dhaka.

“Perubahan telah datang, baik secara psikologis maupun dalam pelaksanaan penegakan hukum. Kesadaran tentang pelecehan seksual harus dimunculkan sejak anak-anak di sekolah-sekolah,” kata Prof Kaberi.

“Mereka harus belajar, apa yang benar dan salah dalam hal pelecehan seksual.”