Lebih dari 100 bahasa digunakan penduduk Vanuatu, negara di Samudera Pasifik yang memiliki 83 pulau. Berbicara dengan bahasa Bislama adalah cara terbaik untuk berkomunikasi – tetapi mempelajarinya bukanlah hal yang mudah.
Matahari hampir tepat berada di atas kepala dan butiran-butiran keringat bermunculan di punggung saat saya menyusuri jalan di sepanjang pantai timur Tanna, salah satu dari 83 pulau yang membentuk negara di Pasifik Selatan, Vanuatu.
Di antara pepohonan tampak sekilas laut biru dan kapal nelayan kayu yang bersandar di pantai-pantai. Rumput-rumput hanya tumbuh di tempat yang tidak ditutupi rimbunnya pohon palem.
Sejumlah pria berjalan cepat seraya menenteng parang. Kaos kotor yang mereka pakai menandakan bahwa mereka sudah bekerja di ladang sejak pagi hari, sementara saya masih tidur.
Para perempuan mengenakan pakaian gaya Victoria yang dinamakan ‘Mother Hubbards’, mengumpulkan cucian mereka, sambil melirik cemas ke arah awan-awan kelabu di cakrawala.
Sesampainya di pasar kota Lenakel, sekelompok orang Tannese menyapa saya dengan senyuman dan sejumlah pertanyaan dalam bahasa Bislama, suatu dialek pidgin yang hanya ada di Vanuatu.
Mereka bertanya, “Wanem nem blong yu?”
Blong artinya belong atau kepunyaan. Dengan percaya diri saya menjawab, “Nama saya Julia.”
“You blong wea?”
“Saya datang dari Inggris.”
Kabar bahwa saya datang dari Inggris memunculkan komentar tentang Pangeran Philip, yang pernah berkunjung ke Vanuatu pada 1974 dengan menggunakan Royal Yacht Britannia.
Jack Naiva, seorang prajurit yang memimpin salah satu desa terpencil Tanna, telah menyatakan bahwa Pangeran Philip merupakan keturunan dari penunggu gunung Tannese.
Sejak saat itu, mereka yang meyakini hal itu mengharapkan dia kembali suatu hari nanti, membawa panen dan kekayaan yang berlimpah ke pulau.
Ketika percakapan menjadi lebih rumit, saya kewalahan mengikuti.
“Mi no save – Saya tidak mengerti,” saya bergumam. Dan dengan begitu, para kenalan baru saya menyerah dan melanjutkan perjalanan mereka.
Sekilas bahasa Bislama, yang berdasarkan pada fonetik bahasa Inggris, tampaknya mudah dimengerti. Karena ingin menghabiskan waktu selama 40 menit saat bepergian dengan pesawat dari ibu kota Vanuatu, Port Vila, ke Tanna, saya membaca iklan handuk pantai di majalah penerbangan Air Vanuatu yang mencantumkan bahasa Bislama dasar. Setiap frasa disertai dengan grafik yang bermanfaat.
Di bawah ‘Basket blong titi’ terdapat gambar bikini. ‘Leg blong dak dak’ tertulis di bawah sirip snorkeling, yang sempat membingungkan saya sampai saya menghubungkan sepatu penyelam dengan kaki bebek. ‘Wota’ sudah jelas, sekarang saya bisa memahami cara berpikir kaum pesisir.
“Kata ‘bislama’ berasal dari ‘beche-de-mer’, sejenis siput laut yang dapat ditemukan di mana-mana di perairan Vanuatu”
Bahasa yang menarik ini berawal dari masa pra-kolonial Vanuatu. Kata ‘bislama’ berasal dari ‘beche-de-mer’, sejenis siput laut yang dapat ditemukan di mana-mana di perairan Vanuatu.
Pada abad ke-18, beche-de-mer sangat dicari oleh orang-orang Cina, yang menganggapnya sebagai kelezatan kuliner.
Terpikat oleh janji uang dan petualangan, orang-orang Ni-Vanuatu sangat senang bergabung dengan awak kapal yang berangkat ke Cina.
Tetapi lantaran komunitas-komunitas di berbagai pulau berkembang dalam keterasingan antara satu dengan yang lainnya, ada lebih dari 100 bahasa berbeda yang digunakan di seluruh kepulauan Vanuatu.
Orang-orang Ni-Vanuatu saja belum tentu dapat memahami satu sama lain, apalagi orang-orang asing yang bekerja bersama mereka.
Akibatnya para pelaut menciptakan apa yang kemudian dikenal sebagai Jargon Laut Selatan, sebuah bahasa pidgin yang dapat digunakan semua orang tanpa terlalu banyak masalah.
Dengan adanya para pelaut yang secara rutin kembali ke pelabuhan Vanuatu, tidak membutuhkan waktu lama bagi Jargon Laut Selatan untuk berkembang di daratan.
Pada tahun 1860an, banyak perkebunan gula di Australia yang mencari tenaga kerja. Melalui praktik yang dikenal sebagai blackbirding (usaha menjebak dan menipu untuk mendapatkan tenaga kerja), Ni-Vanuatu dibawa ke Queensland untuk bekerja dan tidak semuanya berangkat dengan sukarela.
Untuk meredakan sakit kepala yang diakibatkan bahasa campur aduk, Queensland Plantation Pidgin English (suatu bahasa yang mirip dengan Jargon Laut Selatan) diadopsi.
Ketika usaha perkebunan menyebar ke Vanuatu, orang-orang Ni-Vanuatu pulang ke kampung halaman dan Queensland Plantation Pidgin English menyatu dengan Jargon Laut Selatan untuk membentuk dialek baru.
Ketika Vanuatu menjadi koloni bersama Inggris dan Prancis pada 1906, Bislama sudah digunakan secara luas dan menyerap beberapa pengaruh Prancis selama abad ke 20.
Pada era 1970-an, bahasa Bislama menjadi bahasa perjuangan Vanuatu untuk meraih kemerdekaan. Saat otonomi dicapai pada 1980, bahasa Bislama praktis menjadi bahasa pemersatu.
Meski demikian, bahasa Bislama dianggap sebagai bahasa pilihan dan belum meraih status sebagai bahasa resmi Vanuatu seperti bahasa Prancis dan Inggris.
Bahasa Bislama diajarkan di sekolah-sekolah di seluruh kepulauan, dan bahasa ini digunakan pada uang kertas dan koin negara ini. Radio Vanuatu siaran dengan bahasa Bislama, begitu juga Television Blong Vanuatu (TBV), jaringan televisi nasional.
Saat ini Bislama merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari identitas Vanuatu – satu cara untuk menyatukan kepulauan.
Setelah kegagalan di percakapan pinggir jalan saya, saya memutuskan untuk belajar bahasa Bislama dengan cara lain.
Di hotel, saya menemukan sebuah buku panduan bahasa Bislama yang disusun organisasi Peace Corps.
Saya berencana untuk berwisata ke Mount Yasur, gunung berapi aktif yang terletak di sisi timur Tanna, jadi saya membuka bab tentang geologi dan mulai belajar.
Volkeno adalah gunung berapi, faerap (fire up) artinya erupsi, dan yang membingungkan, lava, seperti water, adalah wota (mungkin dianggap air panas).
Meskipun saya sudah mengetahui beberapa kata, saya masih belum mengerti bagaimana membuat sebuah kalimat. Apakah kalimat yang benar adalah ‘Wota blong volkeno faerap’? Saya pikir tidak ada salahnya mencoba.
Hari berikutnya, saya berdiri di pinggir Mount Yasur, melihat lava kental terlontar beberapa meter ke udara persis di hadapan saya.
Dari sudut pandang yang tinggi ini, terlihat abu menutupi tanah, yang dimuntahkan gunung berapi selama erupsi-erupsi sebelumnya dan kemudian dibentuk oleh angin serta hujan badai.
Secara berkala, suara gemuruh dari letusan di perut gunung membuat hati saya berdegup kencang.
Akhirnya, saya memutuskan untuk mencoba kalimat baru saya, “Wota blong volkeno faerap,” saya berkata sambil berusaha menunjukkan rasa percaya diri.
Si pemandu wisata, yang bertelanjang kaki dan mengenakan celana pendek kargo yang berdebu, tersenyum seolah-olah sedang memanjakan anak kecil.
“Iya, itu yang Anda sebut letusan,” jawabnya, dalam bahasa Inggris.
Saya tidak dapat menemukan kata-kata untuk melanjutkan percakapan, dan sekali lagi saya merasa kecil karena ketidakmampuan saya menguasai bahasa – tetapi setidaknya dia memahami saya. Saya memutuskan untuk tetap menggunakan bahasa Inggris sejak saat itu. Bahasa Bislama ternyata lebih sulit ketimbang kelihatannya.
Sumber : bbc.com