Banyak orang, terutama pengidap darah tinggi, waspada ketika menghadapi hidangan daging kambing yang marak setelah Idul Adha.
Namun ancaman sebenarnya datang dari ‘musuh’ yang lebih halus.
Makmur menyalakan sebatang rokok usai menyantap seporsi sup kambing dan sate kambing di salah satu restoran hidangan kambing terkenal di Jakarta Selatan. Ia merupakan salah satu pelanggan tetap, datang tiga sampai empat kali sebulan.
Di usia 50 tahun, Makmur mengaku merasa sedikit khawatir dengan kegemarannya menyantap daging kambing, yang menurutnya memicu tekanan darah. Namun ia mengatakan punya cara mengatasinya.
“Khawatir sih ada, cuma dibarengin sama olahraga aja … Tadi pagi (sebelum makan daging kambing) saya olahraga, besok juga,” katanya kepada BBC Indonesia.
Hal senada dikatakan Ratih, 49 tahun, dan Iyah, 52 tahun. Dua sahabat yang bertetangga ini mengatakan mereka menyantap sup kambing satu-dua kali setiap bulan; meski Ratih, yang mengaku mengidap darah tinggi, mulai membatasi kebiasaannya itu jadi hanya sekali sebulan.
Berbeda dengan Makmur, ia berusaha mengatasi efek hidangan itu dengan banyak minum air putih dan makan buah dan sayuran, misalnya nanas dan ketimun. Bagaimanapun caranya, para perempuan paruh baya ini tidak membiarkan rasa cemas menghalangi kegemaran mereka.
“Kadang sih iya suka ada ya (rasa cemas), cuman gimana? Emang kita doyan ye,” celetuk Iyah.
Di masyarakat, daging kambing punya reputasi buruk sebagai sumber lemak dan kolesterol yang berbahaya bagi tubuh. Banyak orang juga berpikiran bahwa ia memicu tekanan darah, dan karena itu perlu diwaspadai pengidap hipertensi.
Namun anggapan ini tidak didukung oleh bukti ilmiah.
Sebenarnya, daging kambing merupakan daging yang dianggap paling sehat di antara daging merah lainnya. Berdasarkan data dari Departemen Pertanian AS, daging kambing (per 100g) menghasilkan kalori paling sedikit dibandingkan daging ayam, sapi, babi, dan domba.
Kandungan lemak dan kolesterol pada daging kambing pun paling rendah, namun kandungan proteinnya setara dengan daging merah lainnya. Bahkan, daging Capra aegagrus hircus memiliki kandungan lemak jenuh yang lebih rendah dari ayam.
Adapun soal dugaan efeknya terhadap tekanan darah, sebuah laporan ilmiah pada tahun 2014 menunjukkan bahwa daging kambing ternyata bukanlah pemicu hipertensi.
Dalam penelitian yang diterbitkan di Asian-Australasian Journal of Animal Sciences, Sunagawa, dkk memberi makan mencit berusia 15 minggu dengan pakan yang mengandung 20% daging kambing dan 0,3% garam dan mengukur tekanan darahnya secara rutin.
Selama masa eksperimen 14 minggu, tensi darah kelompok mencit yang diberi makan daging kambing hampir sama dengan kelompok kontrol, yang diberi pakan dengan kandungan 20% daging ayam dan 0,3% garam.
Lalu kenapa anggapan bahwa daging kambing menyebabkan darah tinggi meluas?
Dokter spesialis gizi Samuel Oetoro menduga rumor tersebut bermula dari sensasi hangat yang dirasakan banyak setelah memakan hidangan daging kambing.
“Sehingga timbul rumor, hangat itu dipikir tensinya naik, gairahnya meningkat; sebenarnya enggak. Kenapa panas? karena daging kambing itu thermogenic effect-nya tinggi,” kata Samuel kepada BBC Indonesia di kantornya di RS Siloam Semanggi, Jakarta Selatan.
Samuel lanjut menjelaskan, efek termogenik ialah panas yang dihasilkan dari metabolisme suatu bahan makanan dalam tubuh. Dan daging kambing memberikan efek termogenik yang lebih tinggi dari daging merah lainnya.
“Karena daging kambing itu (untuk) dicernanya lebih membutuhkan energi.”
Namun demikian, Samuel tetap menyarankan untuk berhati-hati dalam menyantap hidangan daging kambing; karena, ia berkata, ‘ancaman tersembunyi’ yang dapat memicu hipertensi dalam hidangan daging kambing bukanlah daging itu sendiri, melainkan garam.
Hal tersebut dibuktikan dalam penelitian Sunagawa, dkk pada tahun 2014.
Kelompok mencit yang diberi pakan dengan kadar garam 3-4% menunjukkan tekanan darah yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok yang diberi pakan dengan kadar garam 0,3% setelah lima pekan.
Untuk memastikan efek ini, pada eksperimen kedua para peneliti mengurangi kadar garam menjadi 0,3%, dan hasilnya tekanan darah para mencit tersebut kembali ke tingkat normal (normotensif).
Berdasarkan pengamatan di sejumlah warung hidangan kambing di Jakarta, satu mangkuk sup kambing rata-rata diberi satu sendok teh garam, ditambah satu sendok teh mecin.
Satu sendok teh berarti sekitar 5-6 gram, tepat di batas konsumsi harian yang disarankan Kementerian Kesehatan. Garam juga dapat berasal dari kecap yang menjadi salah satu bumbu utama atau penyedap hidangan daging kambing.
Samuel menjelaskan, unsur Natrium atau Sodium (Na) dalam garam (NaCl) ialah elektrolit yang berfungsi mengatur air di dalam tubuh. Natrium dalam jumlah besar berarti semakin banyak air yang disimpan dalam pembuluh darah, inilah yang menyebabkan tekanan darah meningkat.
Dalam satu sendok teh (5 gram) garam, terkandung Natrium sebanyak 2 gram. “Belum lagi, (dalam sup kambing) dia tambahin lagi MSG, Monosodium Glutamat. Jadi berapa banyak natrium yang Anda makan?”
“Makan sup kambing enggak apa-apa, selama garamnya jangan berlebihan, dalam bentuk garam dapur maupun MSG. Terus pilihan dagingnya jangan yang berlemak, jangan jeroan,” kata Samuel.
Bisakah efeknya diringankan?
Penelitian Sunagawa, dkk juga menunjukkan bahwa tanaman mugwort atau baru cina (Artemisia vulgaris) yang ditambahkan pada hidangan daging kambing dapat meringankan efeknya terhadap tekanan darah.
Baru cina biasa dijadikan sebagai penyedap rasa dalam hidangan sup kambing tradisional di Pulau Okinawa, Jepang. Tanaman tersebut memang jarang digunakan sebagai bumbu pada makanan Indonesia, namun ada tanaman lain yang biasa dimakan untuk mengurangi ‘efek berbahaya’ dari makanan, antara lain ketimun, acar, dan lalapan.
Dokter spesialis gizi Samuel Oetoro menerangkan bahwa ketimun dan lalapan mengandung serat, yang dapat menyerap sebagian makanan yang kita makan.
Tapi seharusnya sayuran atau buah yang berserat dimakan sebelum, atau bersamaan dengan hidangan utama, bukan setelahnya seperti yang biasa dilakukan orang Indonesia.
“Sebelum memakan makanan yang tinggi lemak, tinggi garam, makanlah buah dan sayur,” ia menyarankan.
Lalu bagaimana dengan olahraga setelah makan sop kambing? Kendati gaya hidup sangat berpengaruh pada kebugaran, Samuel tidak menyarankan olahraga sebagai cara untuk meringankan efek negatif dari makanan yang tidak sehat.
“Enggak bisa Anda makan sup kambing hari ini, terus besok Anda olahraga dua jam. Enggak boleh, malah itu bahaya … Olahraganya harus rutin, makannya harus diatur,” ujarnya.
Daripada cara itu, lanjut Samuel, kita sebaiknya menganut pola pikir hidup sehat dan bugar, yang ia ringkas sebagai “5S”.
“Apa itu 5S? Makan sehat, berpikir sehat, istirahat sehat, aktivitas sehat, olahraga dan lingkungan sehat, serta tidak merokok. Lakukan 5S, Anda dapat tubuh sehat dan bugar,” pungkasnya.
Sumber : bbc.com