Dari The Florida Project hingga Paddington 2, kritikus film BBC Culture, Nicholas Barber, memilih film-film favoritnya sepanjang tahun 2017.
10. Downsizing
Meskipun judulnya Downsizing (mengecil), karya Alexander Payne ini punya misi besar. Berkisah di suatu waktu di masa depan, Matt Damon dan Kristen Wiig berperan sebagai pasangan suami-istri yang memutuskan untuk mengikuti proyek yang membuat tubuh mereka berubah menjadi hanya seukuran telapak tangan. Tujuannya untuk mengurangi biaya hidup.
9. A Ghost Story
Bagaimana rasanya jadi hantu, gentayangan tak berkesudahan dengan satu-satunya cara agar terhubung dengan dunia sebenarnya hanya dengan mengedipkan lampu bohlam? David Lowery (Pete’s Dragon/Ain’t Them Bodies Saints) mengangkat topik ini dalam film indie yang moody, A Ghost Story.
Dan uniknya si pemeran hantu adalah aktor peraih Oscar, Casey Affleck, yang hampir tidak berdialog dan berakting di dalam tudung kain yang tak memperlihatkan wajahnya di sepanjang film.
Tergantung dari seberapa sensitif Anda saat menonton film ini, A Ghost Story bisa menjadi film meditasi tentang kesepian, atau hanya jadi sekedar lelucon tentang seorang lelaki yang tak bisa move-on dari kehidupan cintanya.
8. Their Finest
Industri film Inggris tahun ini sangat terobsesi mengangkat kisah evakuasi Dunkirk, tahun 1941 silam, ke layar lebar.
Dua di antaranya sangat berpotensi meraih penghargaan di dunia film, yaitu film action Dunkirk, dan kisah drama politik The Darkest Hour.
Namun, yang ternyata paling memuaskan secara emosional adalah film komedi-romantis drama karya Lone Scherfig, yang bertutur tentang seorang sekretaris (Gemma Arterton) yang menulis sebuah novel emosional tentang peristiwa evakuasi tersebut.
Their Finest adalah sebuah pencapaian dalam khazanah pembuatan film, dengan akting pemain memukau, yang membuat kita ingin memeluk setiap karakter. Meskipun begitu, kita tetap tidak dibuat lupa dengan betapa tegang dan mengerikannya perang.
7. Lady Bird
Setelah ikut menulis naskah Frances Ha dan Mistress America bersama Noah Baumbach, Greta Gerwig akhirnya menulis dan menyutradarai sendiri film pertamanya, sebuah kisah komedi remaja yang sempurna, dibalut karakter utama perempuan yang kuat.
Tokoh utamanya diperankan dengan sangat apik oleh aktris 17 tahun, Saiorse Ronan.
Detail film yang berlokasi di Sacramento, California pada tahun 2002, dibuat dengan sangat meyakinkan, sehingga membuat kita berpikir bahwa Gerwig sedang mengangkat film tentang kehidupannya sendiri di kala remaja.
Menonton film ini bahkan membut saya bergidik melihat betapa nyatanya masalah pribadi dan keluarga yang dialami karakter utamanya.
6. The Florida Project
Melanjutkan kesuksesan filmnya yang dibuat menggunakan smartphone, Tangerine, Sean Baker kembali menghadirkan film yang jujur dan penuh energi tetapi juga penuh pembelajaran tentang potret kaum marjinal-miskin di Amerika.
Berlatar di sebuah motel yang disinggahi turis yang ingin berkunjung ke Disney World, The Florida Project mengajak penonton menghabiskan musim panas yang panjang bersama Mooney, seorang gadis nakal berusia enam tahun (Brooklyn Prince), ibu pemalasnya (Bria Vinaite), dan seorang lelaki pekerja motel (Willem Dafoe).
Ketika Mooney bermain menembus jalanan padat kendaraan dan lahan-lahan tak terjamah, kita dipaksa berpikir apakah masa kecilnya sempurna bahagia atau malah hancur.
5. Get Out
Penulis-sutradara debutan Jordan Peele membuat film yang sangat menghibur mulai dari detik pertama hingga terakhir film.
Berkisah tentang seorang fotografer kulit hitam (Daniel Kaluuya) yang pergi menginap di rumah orang tua kekasihnya yang liberal, Get Out amatlah lucu sekaligus mengerikan, seperti film-film horor klasik tahun 1970an.
Tidak hanya membuat penonton tertawa, berteriak bahkan bertepuk tangan, Peele berhasil membuat mereka membicarakan topik yang jauh lebih dalam yaitu tentang relasi antar-ras di Amerika, yang digambarkan jauh lebih jujur dan satir dibandingkan berbagai film sejarah tentang perseteruan etnis yang pernah dibuat.
4. Good Time
Robert Pattinson memang terkenal karena memerankan vampir di serial Twilight, tetapi dia terlihat lebih hidup dan membara dengan wajah awut-awutan dalam Good Time.
Kita bahkan serasa bisa mencium keringatnya, ketika dia berlari dengan mata terbelalak usai merampok sebuah bank di New York.
Dan film kriminalitas ini tidak hanya memukau karena Pattinson memberikan akting terbaik di sepanjang karirnya.
Good Time juga merupakan adalah film penuh energi dan gaya yang membuat kita akan terus menunggu karya-karya selanjutnya dari Josh dan Benny Safdie, yang lewat film ini telah mematrikan diri mereka sebagai sutradara baru paling berbakat di Amerika.
3. Paddington
Sangat sedikit film live-action anak-anak yang semenyenangkan Paddington 2, meskipun menyebut film ini sebagai live-action seakan tidak menghargai betapa cantiknya adegan-adegan animasi di film.
Didesain dengan tempo yang bergerak seperti alunan musik, sekuel superior buatan Paul Smith ini menghentak tidak hanya sebagai film komedi yang kadang slapstick, tetapi juga sebagai persembahan tentang betapa pentingnya kebaikan dan kemurahan hati.
Bintang beruang yang diisi suaranya oleh Ben Whishaw, hadir jadi karakter yang menginspirasi di tengah masalah yang menjeratnya. Sementara Hugh Grant yang memarodikan dirinya sendiri sebagai lelaki flamboyan super narsis, juga sangat enak dinikmati.
2. Happy End
Film garapan Michael Haneke ini adalah black comedy yang sangat gelap, yang bertutur soal tiga generasi sebuah dinasti bisnis, yang semuanya terkesan tidak waras.
Isabelle Huppert, Matthieu Kassovitz dan Jean-Louis Trintignant berperan sebagai konglomerat dari Calais yang mendominasi tidak hanya di tempat kerja mereka, tetapi juga di rumah.
Mereka adalah orang-orang yang menjijikkan dan penuh kebencian: Haneke menghadirkan ini dalam adegan-adegan yang kadang mengundang senyum.
Happy End sendiri adalah kisah misteri pembunuhan. Haneke memberikan beberapa bocoran perangai jahat para terduga pelaku, tetapi kita harus menunggu untuk mencari tahu siapa pelakunya dan orang yang harus dipersalahkan.
1. The Shape of Water
Muncul pada penghujung tahun 2018, film monster-agen rahasia-komedi romantis-musikal ini punya segalanya yang Anda harapkan dari seorang sutradara imajinatif Guillermo del Toro.
Aktris Sally Hawkins tampil sangat memukau sebagai seorang tukang bersih-bersih bisu yang jatuh cinta pada makhluk campuran manusia dan amfibi (Doug Jones), yang menjadi objek uji coba sebuah laboratorium di Baltimore pada tahun 1960an.
Persahabatan unik mereka, berubah menjadi kisah cinta yang seksi. Namun, del Toro juga menjadikan film fiksi ilmiahnya ini untuk berkomentar soal paranoia masa Perang Dingin dan perjuangan hak-hak sipil kaum kulit hitam.
Dan semuanya itu berhasil disampaikan, sehingga film ini tidak hanya menjadi simbol perayaan kisah cinta dua spesies berbeda, tetapi juga kisah perayaan kesuksesan seorang sutradara dan keajaiban sinema.
Sumber : bbc.com