Serangan siber yang sempat melumpuhkan sejumlah layanan pemerintahan dan swasta di awal 2017 membuat banyak pihak khawatir. Yudhi Kukuh technical consultant PT Prosperita Eset Indonesia mengatakan saat ini motif dan sumber serangan siber kian beragam.
Menurut studi Identity Theft Resource Center (ITRC) yang dilakukan Eset hingga Juli 2018 tercatat ada 668 kasus kejahatan siber dengan total kehilangan data mencapai 22.408.258 dari seluruh kategori. Dari semua kasus kejahatan siber, Yudhi mengatakan ransomware masih menjadi tren yang akan terus terjadi.
“Sejak 2012 hingga 2018 ransomware masih menjadi tren, karena pembuat virus bisa mendapatkan uang tebusan yang dibayarkan korban. Penyebarannya juga kerap disamarkan lewat surel atau data dokumen tertentu yang di dalamnya terselip virus,” ungkap Yudi.
Lebih lanjut ia mengatakan besarnya data yang hilang menunjukkan rentannya pertahanan korporasi terhadap serangan melalui jaringan.
Indonesia menurutnya jadi salahs atu negara yang masih menganggap keamanan data sebagai hal yang tidak terlalu penting. Padahal, sejumlah bidang sangat berpotensi jadi sasaran serangan siber jika tak melakukan proteksi berlapis terhadap keamanan data.
“Urgensi keamanan data di Indonesia di bidang perbankan dan perusahaan yang memiliki formula khusus, misalnya pabrik, institusi dan lembaga yang menyimpan data publik. Hanya saja keamanan data masih dianggap tidak terlalu penting, padahal potensi kerugiannya besar,” imbuhnya.
Marketing director Chrissie Maryanto menambahkan suatu perusahaan dianggap butuh keamanan data jika sistem kerja mulai kompleks. “Misalnya satu perusahaan mulai buka cabang di beberapa lokasi, otomatis data yang tersimpan kian rentan terhadap serangan siber,” ucapnya.
Chrissie mengatakan potensi kebocoran data bukan hanya dari luar korporasi, namun juga ada faktor dari dalam seperti ada faktor ketidaksengajaan karyawan.
“Kasus zaman sekarang masih ada karena human error, seperti ada kesalahan SDM yang berpotensi membuat celah keluar,” ujarnya.
Sumber : CNN [dot] COM