Rusia dan Arab Saudi: Makna Karpet Merah untuk Vladimir Putin Saat Berkunjung ke Riyadh

0
703

Tidak pernah terpikirkan sebelumnya: karpet merah digelar di Riyadh untuk pemimpin Rusia.

Apalagi warga Arab Saudi kerap menjuluki orang-orang Uni Soviet sebagai “komunis tak bertuhan” pada masa Perang Dingin.

Tapi zaman sudah berubah. Pekan ini tentara Saudi melepaskan tembakan salvo 21 kali sebagai penghormatan kepada Presiden Rusia, Vladimir Putin, yang datang berkunjung ke Riyadh.

Kedatangannya, yang disambut raja dan putra mahkota Saudi dengan berjabat tangan erat, membawa sejumlah kesepakatan bilateral.

Tak hanya itu, lawatan Putin membuat kajian strategis Timur Tengah harus dikalibrasi ulang mengingat Saudi sejak lama bersekutu dengan Amerika Serikat.

Seberapa dalam kedekatan Arab Saudi dengan Rusia dan mengapa?

Apa yang terjadi?

Untuk pertama kalinya dalam 12 tahun, Presiden Putin bertandang ke Arab Saudi. Dalam lawatannya yang langka ini, dia membawa delegasi besar yang terdiri dari para pejabat perdagangan, keamanan, dan pertahanan.

Lebih dari 20 kesepakatan bilateral Rusia-Saudi senilai AS$2 miliar (Rp28,3 triliun) ditandatangani dan diumumkan Dana Investasi Langsung Rusia (RDIF) kemudian.

Antara lain:

  • Perusahaan minyak negara Saudi, Aramco, membeli 30% saham Novomet, pemasok peralatan minyak Rusia.
  • Arab Saudi menanam modal sebesar US$600 juta (Rp8,5 triliun) pada bisnis penyewaan pesawat Rusia
  • Penjajakan kerja sama antara perusahaan gas alam Rusia, Gazprom, dengan perusahaan-perusahaan Saudi.

Kerja sama kedua negara tidak terbatas pada kesempatan itu. Pemerintah Saudi mengundang pemerintah Rusia untuk berpartisipasi dalam penyelidikan serangan rudal dan drone terhadap berbagai fasilitas minyak Saudi pada 14 September lalu.

Diskusi pertahanan kedua negara mencakup kemungkinan pembelian dan penempatan sistem pertahanan rudal udara buatan Rusia, S-400. Jika ini terjadi, Washington DC dinilai bakal mengalami pukulan telak.

Baru-baru ini AS mencoret Turki dari program pengadaan pesawat tempur F-35 setelah negara itu membeli S-400 dari Rusia.

Kesepakatan dagang bilateral antara Riyadh dan Moskow terus berakselerasi sejak kesepakatan pada Juni 2018 dan kerja sama terkini dalam menahan pasokan minyak dunia guna menjaga kestabilan harga.

Semua bentuk kerja sama ini merupakan penanda signifikan bahwa hubungan Saudi menghangat dengan Rusia.

Mengapa hubungan kian erat?

Gamblangnya, pemerintah Saudi tidak lagi percaya pada Amerika Serikat dan negara-negara Barat seperti sebelumnya. Bukan berarti mereka lantas langsung percaya pada Moskow, namun rangkaian kejadian terkini di Timur Tengah membuat para petinggi Saudi berpikir ulang.

Kejutan pertama terjadi pada rentetan demonstasi yang melanda Dunia Arab pada 2011 lalu alias Arab Spring.

Warga Saudi—dan warga kerajaan-kerajaan lainnya di Teluk Arab—kaget bukan kepalang ketika negara-negara Arab dengan cepat menelantarkan sekutu lama mereka, Presiden Mesir Hosni Mubarak.

Sebaliknya, warga Saudi melihat bagaimana Moskow dengan setia membela sekutunya di Timur Tengah, Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Kejutan berikutnya muncul tatkala Presiden AS Barack Obama mendukung kesepakatan nuklir Iran pada 2015, yang membuat para petinggi Saudi sangat tidak nyaman. Mereka menduga bahwa Gedung Putih di bawah Obama tidak lagi berminat pada kawasan tersebut.

Saat Donald Trump baru terpilih menjadi presiden AS dan memilih Riyadh sebagai tujuan pertamanya dalam kunjungan kenegaraan pada 2017, orang-orang Saudi gembira. Hubungan dengan Washington DC kembali ke jalurnya dan kesepakatan bernilai miliaran dollar diumumkan kemudian.

Namun, selanjutnya terjadi pembunuhan wartawan Jamal Khashoggi oleh agen-agen Saudi pada Oktober 2018.

Curiga atas keterlibatan putra mahkota Mohammed Bin Salman (MBS), para pemimpin negara Barat tidak terlihat bertemu dengannya—setidaknya di hadapan publik. Pada pertemuan G20 di Buenos Aires, dia tampak dijauhi.

Hanya satu pemimpin negara yang berjabat tangan dengan MBS. Dia adalah Vladimir Putin.

Walau Presiden Trump telah melobi para petinggi Saudi demi membina hubungan baik antara kedua negara, mereka risau dengan perilakunya yang tak terduga dan pendekatannya yang ‘nyentrik’.

Pekan ini, Duta Besar Saudi untuk Inggris, Pangeran Khalid Bin Bandar, menyebut serangan Turki ke Suriah bagian utara (yang dipicu oleh keputusan Trump menarik mundur pasukan AS di sana) sebagai “bencana”.

Ketika ditanya mengenai hangatnya hubungan Riyadh dan Moskow, sang pangeran menjawab bahwa “Rusia sering kali memahami Timur lebih baik ketimbang yang dilakukan Barat”.

Perang sipil di Suriah telah berlangsung selama delapan tahun dan Rusia senantiasa menyokong rezim Bashar al-Assad dengan memasok perangkat senjata termutakhir sekaligus mempertahankan pangkalan militer Rusia di sana.

AS di bawah Presiden Trump, di sisi lain, tampak sedang bersiap angkat kaki meskipun sempat menambah jumlah pasukan untuk memperkuat pertahanan udara Saudi setelah peralatan yang dijual ke negara itu gagal mencegah serangan ke fasilitas minyak pada 14 September.

Intinya, Saudi dan sekutu-sekutunya di Teluk berupaya meluaskan kemitraan mereka agar tidak terlalu bergantung pada Barat.

Upaya ini adalah antisipasi kejadian di masa mendatang, apakah itu serangan rudal yang ditudingkan ke Iran (yang di masa mendatang bisa membunuh para teknisi Rusia) atau krisis diplomatik seperti insiden Khashoggi.