Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta menjelaskan penggembungan atau inflasi di tubuh gunung api merupakan fenomena yang biasa terjadi di gunung api aktif, termasuk Gunung Merapi.
BPPTKG menjelaskan inflasi adalah salah satu tanda bahwa gunung api akan meletus atau erupsi.
“Deformasi merupakan salah satu tanda aktivitas magma menuju permukaan. Setelah deformasi dapat erupsi (letusan) maupun tumbuh kubah lava,” ujar Kepala BPPTKG Hanik Humaida, Jumat (10/7).
BPPTKG mengatakan inflasi ini merupakan salah satu bentuk deformasi gunung api. Deformasi bisa berupa penaikan permukaan tanah (inflasi) ataupun penurunan permukaan tanah (deflasi).
Deformasi berupa inflasi terjadi karena adanya tekanan magma menuju permukaan yang menekan permukaan tanah di atasnya. Inflasi adalah kenaikan permukaan bumi akibat adanya dorongan dari dalam perut bumi. Dorongan ini diakibatkan adanya tekanan dari proses magma pada tubuh gunung api.
Sedangkan deformasi berupa deflasi umumnya terjadi selama atau sesudah masa letusan. Deflasi ini terjadi karena tekanan magma di dalam tubuh gunung api telah melemah
Deflasi membuat penurunan permukaan bumi biasanya terjadi setelah erupsi.
“Penggembungan atau inflasi di tubuh gunung api merupakan fenomena yang biasa terjadi di gunung api aktif,” kata Hanik.
Gunung Api Menjelang Erupsi Terjadi Deformasi
Hanik menjelaskan banyak gunung api menjelang erupsi terjadi deformasi. Gunung api di seluruh belahan dunia juga mengalami deformasi.
Contohnya di Indonesia adalah Gunung Sinabung, Kerinci, Krakatau, Tangkuban Parahu, hingga Slamet yang mengalami deformasi baik sebelum maupun sesudah erupsi.
Hanik menjelaskan metode deformasi merupakan metode untuk mengetahui perubahan bentuk tubuh gunung akibat aktivitas magma.
Salah satu cara untuk mengukur deformasi adalah dengan menggunakan metode EDM (Electronics Distance Measurements). Prinsip kerja metode ini adalah alat akan memancarkan sinar inframerah ke reflektor yang dipasang di tubuh gunung api, lalu reflektor akan memantulkan kembali sinar tersebut ke alat.
“Jarak antara alat dan reflektor di tubuh gunung diukur setiap hari, sehingga jika ada penggembungan (inflasi) dapat terdeteksi,” ujar Hanik.
Erupsi magmatik di Gunung Merapi biasa didahului oleh deformasi atau perubahan bentuk gunung yang diukur dengan metode EDM. EDM mengukur jarak dari alat ke tubuh Gunung Merapi. Bila jaraknya memendek, maka terjadi penggembungan di tubuh gunung.
Hanik menjelaskan erupsi Gunung Merapi 2010 merupakan erupsi yang besar, sehingga deformasinya tercatat sangat besar. Pos Kaliurang (Selatan) mencatat penggembungan sebanyak 300 cm dalam satu bulan sebelum meletus.
Saat itu Gunung Merapi menggembung 10 cm per hari. Sementara Pos Babadan (Barat Laut) tidak melihat adanya penggembungan signifikan.
Di sisi lain, erupsi pada 2006 lebih ringan dibandingkan erupsi pada 2010. Pada 2006, Pos Kaliurang mencatat penggembungan sebanyak 130 cm dalam satu bulan sebelum erupsi dengan laju penggembungan 4 cm per hari.
Sementara Pos Babadan pada 2006 mencatat penggembungan sebesar 20 cm dalam satu bulan sebelum erupsi. Saat itu, Pos Babadan mencatat Gunung Merapi menggembung 0,7 cm per hari.
Pada periode 22 Juni hingga 9 Juli 2020, Pos Babadan mencatat penggembungan sebanyak 7 cm dengan laju 5 cm per hari. Pos Kaliurang tak mencatat adanya penggembungan.
“Perilaku deformasi yang saat ini lebih mengikuti perilaku deformasi menjelang erupsi 2006, sehingga perilaku erupsi nantinya diperkirakan akan mengikuti perilaku erupsi 2006,” ujar Hanik.
Sumber : CNN [dot] COM